You Are Visitor Number ::

Tampilkan postingan dengan label Oneshot. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Oneshot. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 April 2011

ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 3

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 19.35 0 komentar
Aku dan Minhyuk sudah berada di taman. Ia memegang tanganku, erat. Bunga Oleander yang serupa dengan bunga Sakura berjatuhan ke atas rerumputan dengan indah. Angin bertiup lembut, menerpa wajahku dan Minhyuk perlahan.

Setelah sekian lama terdiam, ia kemudian berbicara,

“Ini, untukmu.” Ia menyodorkan padaku sepucuk surat yang dilipat segitiga.

“Apa ini?” tanyaku.

“Bukanya nanti saja, saat kau ingat dan rindu padaku. Janji, ya?”

Aku mengangguk, tak mengerti apa artinya.

Melihat raut wajahku yang menunjukkan herannya aku, ia tersenyum penuh arti padaku.

“Semoga, kau bisa menjadi yeoja yang lebih kuat ke depannya, walau tanpa ada aku. Semangat! ” katanya sembari mengepalkan tangan dan mengacungkan tangannya ke udara.

“Tanpa ada… kau? Mengapa kau… mengatakan ini padaku?”

Ia menatap langit biru nan cerah, lalu menjawab tanyaku, “… tak ada yang abadi, Eunjo.”

Aku mengerinyit heran.

Namun…

“Aduh!” Minhyuk memegang perutnya.

“Minhyuk-ah! Apa… sakitnya terasa lagi?”

“Sudah… hhh… tak apa…” jawabnya sambil tersengal, menahan sakit.

“Tak apa bagaimana?! Suster!” seruku panik sambil beranjak bangkit dan memanggil seorang suster.

“Eunjo-ya… Akh…”

“Suster!” seruku, tak mempedulikan panggilannya.

“Eunjo…” Kepalanya terantuk lemas ke atas tanganku. Darah hangat mulai mengalir dari hidung dan mulutnya.

“SUSTER!”

***

Terduduk sambil tergugu di ruang tunggu, aku meremas tanganku. Merasa bersalah tak tahu menahu kondisi Minhyuk yang sebenarnya, demi aku. Agar aku tak memikirkannya saat aku mengerjakan UN.

Bodoh. Minhyuk bodoh… begitupun aku. Aku mengepalkan tanganku dan memukul pahaku sendiri.

Beberapa saat kemudian, Jinhyeon dan Seonnyeo datang dan melihat sekeliling setelah turun dari lift rumah sakit, mungkin mencariku.

Kemudian, Seonnyeo menoleh padaku dan memekik, “Eunjo-ya!” Seonnyeo pun berlari padaku, disusul Jinhyeon.

“Ada perkembangan?” tanya Jinhyeon.

Aku menggeleng, masih tergugu.

Seonnyeo dan Jinhyeon duduk di samping kiri dan kananku, lalu menepuk bahuku. Mencoba menahan tangis, Jinhyeon menghiburku.

“Tenanglah… uri ganghan Minhyuk akan baik-baik saja…”

Aku tak yakin itu. Kondisinya sudah parah, dan sangat kecil peluangnya untuk disembuhkan. Aku tahu itu.

***

Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari UGD dengan raut muka yang tak menenangkan kami.

Aku bangkit dari kursi dan menyongsong dokter yang menangani Minhyuk.

“Sonsaengnim, bagaimana keadaannya? Apakah… ia sudah melewati masa kritis? Ia… baik-baik saja ‘kan, dok?” berondongku. Jinhyeon dan Seonnyeo ikut bangkit bersamaku dan berdiri di sampingku.

Dokter menghela napas. “Maaf, aku…”

DEG! Dadaku nyeri, seperti ada sesuatu yang menghantam jantungku tanpa ampun.

“Jangan bohong! Katakan bahwa ia baik-baik saja!” teriakku.

“Nona, ini kenyataannya… Kami… tak bisa menyelamatkannya.”

Aku membekap mulutku. “Ini tak mungkin… Minhyuk pasti bohong… Ia… ia pasti hanya tertidur pulas, itu saja!” ucapku, masih tak menerima kenyataan. Tubuhku lemas dan oleng. Untunglah Jinhyeon menangkapku segera.

“Sabarlah, Eunjo… Tabah…” ujarnya sambil memapahku berdiri dan mengusap air matanya.

Seonnyeo yang shock terdiam, berdiri mematung. Lebih-lebih saat sebuah ranjang didorong keluar. Ranjang dimana seseorang yang kami sayangi dan yang kami kenal sebagai sahabat dekat kami, terbaring kaku dengan wajah yang damai.

Aku terduduk di samping ranjangnya, dan mengelus wajahnya yang kini pucat pasi. Wajah yang selalu tersenyum untukku. Wajah yang menenangkanku.

Selamat jalan, Minhyuk.

***

~Setelah pemakaman, sehari setelah meninggalnya Minhyuk~

Aku terdiam di dalam kamar, memegang surat yang dilipat segitiga dari Minhyuk.

Bukanya nanti saja, saat kau ingat dan rindu padaku. Janji?

Aku membukan surat itu pelan. Mungkin memang tak ada yang istimewa jika aku melihat sebatas penampilannya. Itu hanya secarik kertas HVS biasa.

Namun saat kau lihat isinya, kau mungkin akan merasa sangat kehilangan – jika kau punya sahabat seperti Minhyuk.

To : uri kwiyeo Eunjo

From : lovely Minhyuk ^^

Eunjo-ya…

Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sudah entah berada dimana, atau tubuhku sudah tertimbun tanah merah.

Namun, sebelumnya aku meminta maaf padamu kalau aku sering membuatmu merasa aneh, atau aku sering membuatmu marah.

Eunjo, masih ingat ‘kan, saat aku mengatakan padamu “…bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak,”?

Sebenarnya, itu… aduh, susah sekali menuliskannya. Pipiku bersemburat merah lho saat menulis ini. Jinhyeon dan Seonnyeo sampai geli melihatnya, saat aku menulis surat ini di rumah sakit. Keke^^

Aku… ingin mencintaimu, sedalam cinta seorang ayah kepada anak perempuannya. Anak perempuan bagi seorang anak – yang aku tahu – adalah harta yang paling berharga dibanding segalanya.

Kupikir, itu lebih bagus dari cinta sepasang kekasih semata ^^

Jadilah yang terbaik! Pemenang adalah yang berhasil membuat kekalahan tunduk padanya. Kalahkan kekalahan dengan cara seorang pemenang, ya? Janji?

Yang baik selalu menang. Percayalah.

Sarangheyo, chagi ^^

Kang Minhyuk

***

Setelah aku lulus – dengan peringkat 1 se-kota Seoul di tangan, aku masuk ke SMA dan PT favoritku. Akhirnya… seperti inilah aku. Seorang penulis novel fiksi. Novelku yang berjudul ‘My Friend, Tomoki’ sudah dijual hampir ke 50 negara dengan 48 bahasa yang berbeda.

Kudengar, Jinhyeon pun sukses menjadi seorang auriculotherapist sekaligus psikolog anak, dan Seonnyeo berhasil menjadi seorang psikiater yang juga seorang pemain piano jazz terkenal di Busan bersama suaminya, Lee Jinki.

Ah, indahnya persahabatan kami bertiga.

[FLASHBACK EUNJO OFF]

Aku kembali menatap surat Minhyuk di tengah cahaya temaram yang tercipta oleh lampu-lampu jalanan Tokyo. Kemudian, menutupnya sambil tersenyum penuh arti.

Kutarik selimut beludru merah yang tersedia di depanku. Kemudian, masuk ke alam mimpi.

Semoga saja, Minhyuk kembali tersenyum padaku dengan bangga dalam mimpi.

{FIN}

^)^

EPILOGUE :

Sekarang aku tahu tujuanmu. Bungkukan sedalam samudera, terima kasih seluas semesta, mungkin belum cukup… untuk cintamu.

^)^

source : ffindo.wordpress.com
READMORE - ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 3

ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 2

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 19.35 0 komentar
~ UN ~

UN pertama, Matematika. Dilaksanakan di bawah dinginnya pagi, tanggal 25 April 2011.

Suasana kelas menjadi hening. Guru pengawas dari luar sekolah duduk di bangku guru di depan kelas.

Aku terus membulatkan jawaban dengan penuh keyakinan. Kuhitung dan kubaca dengan teliti. Jia yang iri di sebelahku terganggu dengan senyumku yang terus mengembang setiap kali aku berhasil memecahkan sebuah soal.

Dengan keyakinan teguh di hatiku, aku mengerjakan semuanya. Rumus-rumus cepat yang diajarkan Minhyuk padaku, nasihat-nasihatnya…

Yap! Aku sudah selesai.

Aku menaruh pensilku pelan ke atas meja. Karena sudah tak diperbolehkan untuk pergi ke kamar mandi, aku menyingkirkan kertas jawaban ke samping dan tidur di atas meja.

***Seusai UN Matematika, aku menemui Jinhyeon dan Seonnyeo yang berada di ruang sebelah – karena Minhyuk tak terlihat sedari tadi.

Saat aku menemukan mereka, mereka berdua berjalan dengan lunglai. Mata Seonnyeo sembab dan Jinhyeon seperti kehilangan tenaga.

“Lho? Ada apa dengan kalian?”

Mereka kaget ketika mendengarku bertanya pada mereka sebelum mereka menyadari kedatanganku.

“Eh? Tidak… Seonnyeo kehilangan… hewan peliharaannya tadi pagi. Dia sangat sayang pada hamsternya yang sayangnya tadi malam… mati karena sakit,” jelas Jinhyeon.

Namun entah mengapa, dari nada bicaranya dan senyum Jinhyeon yang agak dipaksakan mencerminkan bahwa ada sesuatu yang salah terjadi hari ini.

Apa ini tentang Minhyuk?

“Minhyuk kemana ya? Dia tak terlihat dari tadi…”

“Entahlah… mungkin dia ke kamar mandi?” jawab Jinhyeon.

“Iya juga ya… Ah, aku mau ke kantin dulu. Kalian mau ikut tidak?”

“Ah, mianhae Eunjo, aku dan Seonnyeo langsung pulang. Seonnyeo ada urusan keluarga, begitu pula aku. Saudaraku menikah setelah ini. Mianhae, Eunjo…”

“Ooo… Tak apa, chukaeyo! Aku ikut senang,” jawabku.

“Ye… Aku pulang dulu, Eunjo. Annyeong…”

“Ne…” Aku pun berjalan ke kantin sendirian.

***
Begitu seterusnya sampai UN terakhir, IPA, tanggal 28 April 2011. Minhyuk selalu tak terlihat. Baru kutahu saat aku tanya pada Jonghyun selepasnya di kantin sekolah sebelum aku pulang.

“Jonghyun, Minhyuk kemana, ya?”

“Lho? Kau baru tahu kalau dia tak masuk terus saat UN?”

Perutku mendadak mulas. “Mworago? Minhyuk… tak masuk selama UN?”

“Iya. Aku belum tahu sampai sekarang apa penyebabnya. Aku tahu dia dekat denganmu, wajar saja kalau kau mencarinya. Aku duluan, Eunjo…”

“Ye…”

Minhyuk… tak masuk selama UN?

Pabbo ya, Eunjo. Mengapa tak mencari tahu perihal Minhyuk sebelum UN?

Saat aku ingin pergi dari kantin menuju ke gerbang sekolah, Jinhyeon dan Seonnyeo menjelang di depan mataku.

“Annyeong, Eunjo…” sapa Seonnyeo.

“Ne, annyeong! Aduh, kemana saja kalian? Selama UN kemarin jarang sekali menemuiku, selalu langsung pulang…”

“Eunjo… Aku dan Seonnyeo ingin mengajakmu ke satu tempat. Lebih baik kita pergi sekarang, yuk!” ajak Jinhyeon sambil menarik tanganku.

“Eh? Kemana?”

“Ke satu tempat. Sudah, tenang saja…” tahu-tahu kami sudah sampai di depan mobil Daewoo milik Jinhyeon.

“Masuklah,” ujar Jinhyeon.

“Ah, kau dulu… Kau ‘kan yang punya…”

“Tidak, tidak apa-apa.” Jinhyeon mempersilakanku duduk sambil membukakan pintu untukku.

Aku masuk ke dalam mobilnya dengan canggung. Jinhyeon dan Seonnyeo menyusul masuk.

***
Beberapa saat kemudian, kami tiba di sebuah tempat. Gedung putih megah menjulang tinggi dengan jendela-jendela manis yang menghiasi setiap lantainya.

Perkantoran? Bukan.

Hotel? Bukan.

Rumah Sakit Ginjal.

Perutku semakin mulas. Jinhyeon dan Seonnyeo lebih dulu keluar dari mobil, kemudian membukakan pintu untukku.

“Eunjo-ya, keluarlah. Ini bukan sesuatu yang mengerikan,” ujar Jinhyeon lirih walau tersungging seulas senyum di wajahnya. Seonnyeo menepukkan tangannya di bahuku dan menatap dengan tatapan semua-akan-baik-baik-saja.

Dengan perasaan yang tak menentu, aku mengikuti mereka yang kini menggandeng tangan kiri dan kananku menuju ke dalam rumah sakit.

Tak hanya sampai depan. Mereka membawaku ke dalam lift dan naik sampai ke lantai 2. Kemudian, mereka mengajakku menuju sebuah kamar perawatan khusus.

Saat aku masuk ke dalam kamar itu, terlihat beberapa mesin-mesin besar – yang kutahu untuk proses hemodialisa atau cuci darah, Seonnyeo yang memberitahuku – dan ranjang-ranjang di samping mesin dialisis, dimana orang-orang penderita gagal ginjal terbaring.

Aku terdiam di pintu masuk. Jinhyeon dan Seonnyeo menarikku untuk lebih jauh ke dalam.

“Lepas dulu alas kakimu, lekas ke dalam,” ujar Seonnyeo.

Aku melepas alas kakiku perlahan dan menebar pandangan ke sekeliling. Pasien disini sepertinya benar-benar butuh perawatan khusus sehingga yang dirawat di kamar ini sedikit sekali.

Namun wajah mereka yang pucat dan agak kusam membuatku agak takut dan cemas.

“Eunjo-ya, pakai ini dulu dan cuci tanganmu,” Jinhyeon menghampiriku sambil membawakanku pakaian untuk penjenguk – entah apa namanya itu – dan menuntunku ke wastafel.

“Ah, ne… Gomapta, Jinhyeon-ah…” Kemudian, aku mencuci tanganku dan memakai pakaian khusus tadi. Kulihat Jinhyeon dan Seonnyeo juga sudah memakainya.

Setelah aku selesai memakai baju khusus, Jinhyeon menarik tanganku ke sebuah kasur paling ujung. Kulihat seseorang yang kukenal terbaring di sana, menatapku lemah dengan seulas senyum manis yang khas.

Minhyuk.

Aku menutup mulutku dengan tangan. Hatiku trenyuh melihatnya harus bertemankan mesin hemodialisa setiap malam.

Aku tak ingin menangis, namun air mataku dengan sendirinya mengalir. Aku mengangkat tanganku, dan berkata tersendat-sendat,

“A… annyeong, Minhyuk-ah…”

Ia menjawab dengan suara parau, “Ne… annyeong Eunjo-ya. UN-mu bagaimana? Semua berjalan dengan lancar?”

Aku berjalan lebih dekat ke arahnya, dan akhirnya terduduk di samping ranjangnya.

Tiba-tiba, “Ah! Aku baru ingat,” ujarnya. Ia bangkit perlahan, meminta seorang suster yang lewat mencabut selang dari dializer-nya.

“Minhyuk! Mwo haneun geoya?!” bisikku cemas saat selang-selang Minhyuk dilepas satu-persatu.

Ia beranjak turun dari kasurnya, dan memegang tanganku. “Ayo, kita ke taman. Aku bosan disini terus. Selama UN ‘kan, aku disini saja,” ujar Minhyuk.

Aku yang mendengarnya merasa bersalah, karena tak mengetahui kondisinya selama ini. Ia membuka sebuah kursi roda di sampingnya, dan duduk di atas kursi roda itu. Ia menatapku dengan pandangan memohon.

Kemudian, Seonnyeo berkata padaku, “Eunjo, kami pulang dulu. Rawat Minhyuk baik-baik, ya…” ujarnya. Aku mengangguk pada mereka. “Terimakasih, ya…” Mereka balas menunduk dan melambaikan tangan padaku dan Minhyuk.

Aku meraih pegangan belakang kursi roda itu, dan bertanya padanya. “Kau… mau kemana?”

“Kita akan ke taman yang berada di lantai 2. Mianhae, Eunjo-ya… Aku berat, ya?” candanya.

Aku tersenyum kecil.

***

source : ffindo.wordpress.com
READMORE - ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 2

ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 1

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 19.34 0 komentar


Casts : Kim Eunjo a.k.a. Zen, Kang Minhyuk CN BLUE, Kwon Seonnyeo a.k.a. Bella, Lee Jinhyeon a.k.a. Amira alias Author.
Minor Casts : Lee Jonghyun CN BLUE, Jia and Fei Miss A.
Genre : Friendship, dengan bumbu Romance kira-kira seukuran kutu kupret.
Length : Oneshot
Disclaimer : Cerita ini punya Hyeon dan mbrojol dari otak yang nggak beres, jadi kalau mau copas ijin dulu, yak *halah geer bener* dan hati-hati ketularan gila. *nodong*

Notes : Ini bukan ff gila sebenernya. Gara-gara scoring theme-nya Kim Tak Goo sih, gilanya ketiup jauh ampe ke antartika. Kedinginan noh. Buat Zen, nih emak bikinin ff-nya, maap emak lagi kagak sarap abisnya sarapnya emak sedang dibuang tidak pada tempatnya. Oh iya, di covernya, nampang 3 foto member girlband – sunhwa SECRET, dara 2ne1, dan amber f(x) – itu bias masing-masing dari zen, hyeon dan misstis. Eh, tapi kalo yang Amber itu kayaknya asli hyeon… *elus dagu* *sukses diledakkan* *eh, idup lagi*

#ini bukan ff punya admin. admin hanya copas dari sumber/source#
***

^)^

SUMMARY :
…bersenderlah di bahuku, seperti ayah dan anak. Apa tujuanmu mengatakan hal itu?

^)^

Malam telah tiba. Waktu tidur menjelang. Aku termenung di atas tempat tidurku di sebuah apartemen ternama di Tokyo. Sudah sukses menjadi seorang penulis. Aku senang dengan semua ini.

Namun, ini semua bukan karena kerja kerasku semata. Aku bisa tidur di atas kasur empuk nan nyaman sambil melihat pemandangan Tokyo di malam hari ini… karena 3 orang yang paling berharga bagiku.

Jinhyeon, Seonnyeo, dan… Minhyuk.

Minhyuk… Ah, dia. Kuambil sepucuk surat yang dilipat segitiga dari tas kecilku yang kutaruh di atas nakas.

Kubaca satu demi satu perkataannya.

Memori-memori masa laluku pun hidup kembali, dan menemaniku malam ini.

[FLASHBACK EUNJO ON]

Di sekolah – saat aku masih duduk di bangku SMP kelas 3, aku dan teman-teman diminta oleh guru bahasa untuk menulis sebuah esai yang menceritakan apa yang ibu lakukan sebelum kita tidur. Setelah itu, beliau pergi meninggalkan kelas. Kemudian, kalian bisa tahu sendiri, setelah pintu tertutup, suasana riuh ramai langsung tercipta di dalam kelas.

Menatap kertas HVS kosong yang ada di depanku, aku bingung sendiri. Apa yang harus aku tuliskan di dalamnya?

Sonsaengnim mana mau tahu… kalau eomma sudah meninggal beberapa bulan yang lalu.

“Eunjo! Ayo bergabung bersama kami!” ajak Jinhyeon padaku. Di sebelahnya, duduk Seonnyeo dan Minhyuk.

Aku mengangguk lalu mengangkat kursiku ke meja tempat mereka berkumpul. Minhyuk menggeser kursinya dan mempersilakan aku duduk di sebelahnya.

“Sebelah sini, Eunjo,” ujar Minhyuk padaku.

Aku menaruh kursi dan duduk di atasnya. Kemudian, menaruh kertas HVS di atas meja dengan perasaan bercampur aduk.

Seonnyeo dan Jinhyeon yang tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku, menoleh padaku dengan rasa khawatir. Lebih-lebih Seonnyeo yang melihat jelas mataku – yang nyaris mengeluarkan air mata.

“Eunjo… Mengapa tak minta izin pada sonsaengnim agar kau tak usah menulis karya ini?” tanya Seonnyeo.

Aku terdiam. Tak bisa menjawab.

“Iya, Eunjo. Aku khawatir jika ini membuatmu semakin sedih,” sambung Jinhyeon.

Sejurus kemudian, saat mereka bertiga sudah mulai menulis – dengan kondisi kertasku masih kosong – beberapa anak yang hobi mengataiku berjalan dengan angkuh mendekati meja kami dan berkata,

“Sepertinya disini ada yang tidak memiliki ibu. Kasihan sekali dia…” ujar seorang yeoja dengan suara manja yang membuat telingaku risih.

“Aduh, iya Jia… Kasihan sekali anak itu. Dimana dia, ya?”

Jia – anak bersuara manja mengganggu tadi – manggut-manggut dan menoyor kepalaku.

“Ini dia anaknya, si pendiam di kelas kita,” ujarnya dengan suara mengejek. Malas berkompromi, aku diam saja.

“Waa, jadi dia yang sudah menjadi anak piatu? Sumbang uang berapa nih?” ujar seorang yeoja lainnya yang berada di samping Jia.

“1 won pun mungkin akan membuat dia berlonjak-lonjak gembira. Ah, jangan. 20 won sekalian, Fei!” jawab Jia.

Aku tak memperdulikan mereka. Saat aku akan menulis esai agar aku dapat mengacuhkan mereka, beberapa uang kertas menampar kepalaku keras sebelum akhirnya menghujani pakaianku.

“Hahaha. Pake tuh buat jajan!” tawa Jia, ditimpali tawa dari namja chingunya, Chansung beserta beberapa namja mengganjal lainnya.

Aku hanya terdiam, menatap satu persatu uang yang jatuh ke atas pangkuanku, dan akhirnya air mataku tak dapat kubendung.

Tiba-tiba saja kursi disebelahku terdorong kencang ke belakang. Minhyuk berdiri dengan marah. Tangan kanannya memegang tangan Jia dan tangan kirinya mengacungkan tinju pada Chansung dan gerombolannya.

“Sekali lagi kalian berlaku macam begini pada Eunjo, habislah kalian,” ancamnya.

“Dan kau, Jia,” lanjut Minhyuk, “ambil uang yang tadi kau sebarkan dengan indahnya ke atas Eunjo,” perintah Minhyuk dengan nada sarkastis.

Jia menggeleng. “Itu ‘kan sudah menjadi uangnya,” elaknya.

“Sekarang sudah menjadi uangmu lagi. Bagus sekali, bukan?” jawab Minhyuk.

Jia yang tak bisa menjawab lagi perkataan Minhyuk akhirnya mengambil satu persatu uang yang jatuh ke lantai dengan enggan. Aku tetap terdiam, dengan tangan yang terkepal di atas meja.

“Eunjo-ya, kwaenchanhayo?” tanya Seonnyeo. Jinhyeon beranjak dari kursinya, dan menoyor kepala Fei – yang setia berada di samping Jia – dingin.

“Aya! Hiih, sakit tauk!” keluh Fei nyaring.

“Itu tak sesakit hati Eunjo, bodoh,” lanjut Jinhyeon. Kemudian, Jinhyeon mendekatiku dan bergabung bersama aku dan Seonnyeo.

Jinhyeon dan Seonnyeo menepuk kedua bahuku. Kemudian, Minhyuk menarik tanganku.

“Eunjo-ya, kkaja. Kita keluar dari sini. Kalian kalau mau ikut…” Minhyuk tersenyum, “…ikut saja. Akan lebih baik.”

Jinhyeon dan Seonnyeo mengikuti aku dan Minhyuk. Minhyuk yang awalnya memegang tanganku kini mulai merangkulku.

Rangkulannya yang hangat membuatku ingin menangis.

Apa ini yang dirasakan seorang anak jika dipeluk oleh ibunya?

Eomma…

“Eunjo?” tanya Minhyuk yang melihat air mataku mengucur semakin deras.

Aku menoleh kepadanya dan tersenyum sambil terus menangis.

“Gomapta,” ucapku lirih. “Kau… seperti seorang ibu bagiku.”

“Eh?” Minhyuk bingung untuk sesaat, lalu tersenyum. “Tak usah kaku begitu…” lanjutnya sambil menyenggolku yang salah tingkah dan berusaha menjaga jarak, “… bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak. Aku ‘kan bukan perempuan,” candanya.

Aku bersender di atas bahunya perlahan. Kudengar Jinhyeon dan Seonnyeo berdeham pelan di belakangku. Aku menoleh, dan mereka cengar-cengir padaku.

Untungnya… aku masih mempunyai sahabat seperti mereka di kelas.

Yang menghiburku di saat duka dan menemaniku di saat suka.

Kami berempat berhenti di depan balkon. Minhyuk menoleh padaku dan berkata,

“Angin hari ini lembut sekali… Rasanya sayang bila dilewatkan.” Ia tersenyum padaku, dan menlanjutkan perkataannya. “Eunjo, tutup matamu.”

Aku menutup mataku.

“Rasakan hembusan angin yang menerpa wajahmu.”

Aku merasakannya.

“Yakinlah… ibumu senang di atas sana, melihatmu masih sangat menyayanginya.”

Aku belum terlalu yakin.

Aku belum menjadi anak yang baik bagi ibu. Prestasi apapun belum aku cetak. Piagam penghargaan satu-satunya di laci ibu hanya saat aku mengikuti lomba mewarnai saat aku masih TK.

Kurasakan dua tangan lainnya menepukku lembut. “Kami pun selalu berada disini, untukmu. Spesialnya… Minhyuk,” canda Seonnyeo yang ditimpali oleh deham Jinhyeon.

Aku membuka mataku dan menatap mereka. “Ya!” Aku memukul bahu mereka sambil tertawa bersama mereka.

[FLASHBACK EUNJO OFF]

Aku tersenyum sendiri saat mengingat rangkulan Minhyuk padaku. Mataku mulai panas saat terngiang apa yang ia katakan padaku,

“…bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak. Aku ‘kan bukan perempuan.”

Bahkan, ayahku pun tak seperti itu.

Kebaikan Jinhyeon dan Seonnyeo…

“Eunjo, mengapa tak minta izin pada sonsaengnim agar kau tak usah menulis karya ini?”

“Itu tak sesakit hati Eunjo, bodoh.”

Ah, mereka. Benar-benar…

Aku meringkuk di atas kasurku. Menarik selimut, bersiap-siap terjun ke alam mimpi ‘tuk menyongsong hari esok.

~ 1 semester kemudian, Ujian Sekolah ~

Ujian Nasional sudah di depan mata. Kami makin semangat belajar. Minhyuk terus menerus mengontrol progress nilai matematikaku, Jinhyeon mengajariku tata bahasa Inggris dan Korea, dan Seonnyeo membuatkan ringkasan khusus IPA untukku.

Kami selalu belajar di balkon tempat Minhyuk, Jinhyeon dan Seonnyeo menghiburku setiap istirahat selepas membeli makanan ringan di kantin. Menurut kami, itulah tempat belajar yang paling mengasyikkan, karena tak ada pengganggu.

Prestasiku semakin meningkat. Minhyuk senang karena matematikaku mencapai nilai 100 dalam latihan UN, Jinhyeon lega karena nilai bahasaku yang biasanya di bawah garis kemiskinan kini mencapai angka 95, dan Seonnyeo menatapku berbinar-binar mendapati nilai rata-rata IPA-ku mencapai angka 90.

Nilai US-ku pun terdongkrak sampai dari 7 atau 8 pelajaran, rata-ratanya menduduki peringkat 2 di sekolah. Jung Yonghwa selalu paling atas, tapi ini sangat memuaskan bagiku meskipun aku tak menduduki peringkat satu.

Guru-guru bangga padaku, karena aku yang awalnya selalu mendapatkan kelas rotasi C saat pemantapan melejit mencapai peringkat 2 dalam waktu singkat.

Rasanya, terimakasih seluas galaksi dan bungkukan hormat sedalam samudera tak cukup untuk mereka.

source : ffindo.wordpress.com
READMORE - ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 1
 

RITZKI WEDANTHI II Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Angry Birds Merchandise