You Are Visitor Number ::

Sabtu, 02 April 2011

ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 1

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 19.34


Casts : Kim Eunjo a.k.a. Zen, Kang Minhyuk CN BLUE, Kwon Seonnyeo a.k.a. Bella, Lee Jinhyeon a.k.a. Amira alias Author.
Minor Casts : Lee Jonghyun CN BLUE, Jia and Fei Miss A.
Genre : Friendship, dengan bumbu Romance kira-kira seukuran kutu kupret.
Length : Oneshot
Disclaimer : Cerita ini punya Hyeon dan mbrojol dari otak yang nggak beres, jadi kalau mau copas ijin dulu, yak *halah geer bener* dan hati-hati ketularan gila. *nodong*

Notes : Ini bukan ff gila sebenernya. Gara-gara scoring theme-nya Kim Tak Goo sih, gilanya ketiup jauh ampe ke antartika. Kedinginan noh. Buat Zen, nih emak bikinin ff-nya, maap emak lagi kagak sarap abisnya sarapnya emak sedang dibuang tidak pada tempatnya. Oh iya, di covernya, nampang 3 foto member girlband – sunhwa SECRET, dara 2ne1, dan amber f(x) – itu bias masing-masing dari zen, hyeon dan misstis. Eh, tapi kalo yang Amber itu kayaknya asli hyeon… *elus dagu* *sukses diledakkan* *eh, idup lagi*

#ini bukan ff punya admin. admin hanya copas dari sumber/source#
***

^)^

SUMMARY :
…bersenderlah di bahuku, seperti ayah dan anak. Apa tujuanmu mengatakan hal itu?

^)^

Malam telah tiba. Waktu tidur menjelang. Aku termenung di atas tempat tidurku di sebuah apartemen ternama di Tokyo. Sudah sukses menjadi seorang penulis. Aku senang dengan semua ini.

Namun, ini semua bukan karena kerja kerasku semata. Aku bisa tidur di atas kasur empuk nan nyaman sambil melihat pemandangan Tokyo di malam hari ini… karena 3 orang yang paling berharga bagiku.

Jinhyeon, Seonnyeo, dan… Minhyuk.

Minhyuk… Ah, dia. Kuambil sepucuk surat yang dilipat segitiga dari tas kecilku yang kutaruh di atas nakas.

Kubaca satu demi satu perkataannya.

Memori-memori masa laluku pun hidup kembali, dan menemaniku malam ini.

[FLASHBACK EUNJO ON]

Di sekolah – saat aku masih duduk di bangku SMP kelas 3, aku dan teman-teman diminta oleh guru bahasa untuk menulis sebuah esai yang menceritakan apa yang ibu lakukan sebelum kita tidur. Setelah itu, beliau pergi meninggalkan kelas. Kemudian, kalian bisa tahu sendiri, setelah pintu tertutup, suasana riuh ramai langsung tercipta di dalam kelas.

Menatap kertas HVS kosong yang ada di depanku, aku bingung sendiri. Apa yang harus aku tuliskan di dalamnya?

Sonsaengnim mana mau tahu… kalau eomma sudah meninggal beberapa bulan yang lalu.

“Eunjo! Ayo bergabung bersama kami!” ajak Jinhyeon padaku. Di sebelahnya, duduk Seonnyeo dan Minhyuk.

Aku mengangguk lalu mengangkat kursiku ke meja tempat mereka berkumpul. Minhyuk menggeser kursinya dan mempersilakan aku duduk di sebelahnya.

“Sebelah sini, Eunjo,” ujar Minhyuk padaku.

Aku menaruh kursi dan duduk di atasnya. Kemudian, menaruh kertas HVS di atas meja dengan perasaan bercampur aduk.

Seonnyeo dan Jinhyeon yang tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku, menoleh padaku dengan rasa khawatir. Lebih-lebih Seonnyeo yang melihat jelas mataku – yang nyaris mengeluarkan air mata.

“Eunjo… Mengapa tak minta izin pada sonsaengnim agar kau tak usah menulis karya ini?” tanya Seonnyeo.

Aku terdiam. Tak bisa menjawab.

“Iya, Eunjo. Aku khawatir jika ini membuatmu semakin sedih,” sambung Jinhyeon.

Sejurus kemudian, saat mereka bertiga sudah mulai menulis – dengan kondisi kertasku masih kosong – beberapa anak yang hobi mengataiku berjalan dengan angkuh mendekati meja kami dan berkata,

“Sepertinya disini ada yang tidak memiliki ibu. Kasihan sekali dia…” ujar seorang yeoja dengan suara manja yang membuat telingaku risih.

“Aduh, iya Jia… Kasihan sekali anak itu. Dimana dia, ya?”

Jia – anak bersuara manja mengganggu tadi – manggut-manggut dan menoyor kepalaku.

“Ini dia anaknya, si pendiam di kelas kita,” ujarnya dengan suara mengejek. Malas berkompromi, aku diam saja.

“Waa, jadi dia yang sudah menjadi anak piatu? Sumbang uang berapa nih?” ujar seorang yeoja lainnya yang berada di samping Jia.

“1 won pun mungkin akan membuat dia berlonjak-lonjak gembira. Ah, jangan. 20 won sekalian, Fei!” jawab Jia.

Aku tak memperdulikan mereka. Saat aku akan menulis esai agar aku dapat mengacuhkan mereka, beberapa uang kertas menampar kepalaku keras sebelum akhirnya menghujani pakaianku.

“Hahaha. Pake tuh buat jajan!” tawa Jia, ditimpali tawa dari namja chingunya, Chansung beserta beberapa namja mengganjal lainnya.

Aku hanya terdiam, menatap satu persatu uang yang jatuh ke atas pangkuanku, dan akhirnya air mataku tak dapat kubendung.

Tiba-tiba saja kursi disebelahku terdorong kencang ke belakang. Minhyuk berdiri dengan marah. Tangan kanannya memegang tangan Jia dan tangan kirinya mengacungkan tinju pada Chansung dan gerombolannya.

“Sekali lagi kalian berlaku macam begini pada Eunjo, habislah kalian,” ancamnya.

“Dan kau, Jia,” lanjut Minhyuk, “ambil uang yang tadi kau sebarkan dengan indahnya ke atas Eunjo,” perintah Minhyuk dengan nada sarkastis.

Jia menggeleng. “Itu ‘kan sudah menjadi uangnya,” elaknya.

“Sekarang sudah menjadi uangmu lagi. Bagus sekali, bukan?” jawab Minhyuk.

Jia yang tak bisa menjawab lagi perkataan Minhyuk akhirnya mengambil satu persatu uang yang jatuh ke lantai dengan enggan. Aku tetap terdiam, dengan tangan yang terkepal di atas meja.

“Eunjo-ya, kwaenchanhayo?” tanya Seonnyeo. Jinhyeon beranjak dari kursinya, dan menoyor kepala Fei – yang setia berada di samping Jia – dingin.

“Aya! Hiih, sakit tauk!” keluh Fei nyaring.

“Itu tak sesakit hati Eunjo, bodoh,” lanjut Jinhyeon. Kemudian, Jinhyeon mendekatiku dan bergabung bersama aku dan Seonnyeo.

Jinhyeon dan Seonnyeo menepuk kedua bahuku. Kemudian, Minhyuk menarik tanganku.

“Eunjo-ya, kkaja. Kita keluar dari sini. Kalian kalau mau ikut…” Minhyuk tersenyum, “…ikut saja. Akan lebih baik.”

Jinhyeon dan Seonnyeo mengikuti aku dan Minhyuk. Minhyuk yang awalnya memegang tanganku kini mulai merangkulku.

Rangkulannya yang hangat membuatku ingin menangis.

Apa ini yang dirasakan seorang anak jika dipeluk oleh ibunya?

Eomma…

“Eunjo?” tanya Minhyuk yang melihat air mataku mengucur semakin deras.

Aku menoleh kepadanya dan tersenyum sambil terus menangis.

“Gomapta,” ucapku lirih. “Kau… seperti seorang ibu bagiku.”

“Eh?” Minhyuk bingung untuk sesaat, lalu tersenyum. “Tak usah kaku begitu…” lanjutnya sambil menyenggolku yang salah tingkah dan berusaha menjaga jarak, “… bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak. Aku ‘kan bukan perempuan,” candanya.

Aku bersender di atas bahunya perlahan. Kudengar Jinhyeon dan Seonnyeo berdeham pelan di belakangku. Aku menoleh, dan mereka cengar-cengir padaku.

Untungnya… aku masih mempunyai sahabat seperti mereka di kelas.

Yang menghiburku di saat duka dan menemaniku di saat suka.

Kami berempat berhenti di depan balkon. Minhyuk menoleh padaku dan berkata,

“Angin hari ini lembut sekali… Rasanya sayang bila dilewatkan.” Ia tersenyum padaku, dan menlanjutkan perkataannya. “Eunjo, tutup matamu.”

Aku menutup mataku.

“Rasakan hembusan angin yang menerpa wajahmu.”

Aku merasakannya.

“Yakinlah… ibumu senang di atas sana, melihatmu masih sangat menyayanginya.”

Aku belum terlalu yakin.

Aku belum menjadi anak yang baik bagi ibu. Prestasi apapun belum aku cetak. Piagam penghargaan satu-satunya di laci ibu hanya saat aku mengikuti lomba mewarnai saat aku masih TK.

Kurasakan dua tangan lainnya menepukku lembut. “Kami pun selalu berada disini, untukmu. Spesialnya… Minhyuk,” canda Seonnyeo yang ditimpali oleh deham Jinhyeon.

Aku membuka mataku dan menatap mereka. “Ya!” Aku memukul bahu mereka sambil tertawa bersama mereka.

[FLASHBACK EUNJO OFF]

Aku tersenyum sendiri saat mengingat rangkulan Minhyuk padaku. Mataku mulai panas saat terngiang apa yang ia katakan padaku,

“…bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak. Aku ‘kan bukan perempuan.”

Bahkan, ayahku pun tak seperti itu.

Kebaikan Jinhyeon dan Seonnyeo…

“Eunjo, mengapa tak minta izin pada sonsaengnim agar kau tak usah menulis karya ini?”

“Itu tak sesakit hati Eunjo, bodoh.”

Ah, mereka. Benar-benar…

Aku meringkuk di atas kasurku. Menarik selimut, bersiap-siap terjun ke alam mimpi ‘tuk menyongsong hari esok.

~ 1 semester kemudian, Ujian Sekolah ~

Ujian Nasional sudah di depan mata. Kami makin semangat belajar. Minhyuk terus menerus mengontrol progress nilai matematikaku, Jinhyeon mengajariku tata bahasa Inggris dan Korea, dan Seonnyeo membuatkan ringkasan khusus IPA untukku.

Kami selalu belajar di balkon tempat Minhyuk, Jinhyeon dan Seonnyeo menghiburku setiap istirahat selepas membeli makanan ringan di kantin. Menurut kami, itulah tempat belajar yang paling mengasyikkan, karena tak ada pengganggu.

Prestasiku semakin meningkat. Minhyuk senang karena matematikaku mencapai nilai 100 dalam latihan UN, Jinhyeon lega karena nilai bahasaku yang biasanya di bawah garis kemiskinan kini mencapai angka 95, dan Seonnyeo menatapku berbinar-binar mendapati nilai rata-rata IPA-ku mencapai angka 90.

Nilai US-ku pun terdongkrak sampai dari 7 atau 8 pelajaran, rata-ratanya menduduki peringkat 2 di sekolah. Jung Yonghwa selalu paling atas, tapi ini sangat memuaskan bagiku meskipun aku tak menduduki peringkat satu.

Guru-guru bangga padaku, karena aku yang awalnya selalu mendapatkan kelas rotasi C saat pemantapan melejit mencapai peringkat 2 dalam waktu singkat.

Rasanya, terimakasih seluas galaksi dan bungkukan hormat sedalam samudera tak cukup untuk mereka.

source : ffindo.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

RITZKI WEDANTHI II Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Angry Birds Merchandise