You Are Visitor Number ::

Tampilkan postingan dengan label Fanfiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fanfiction. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 April 2011

ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 3

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 19.35 0 komentar
Aku dan Minhyuk sudah berada di taman. Ia memegang tanganku, erat. Bunga Oleander yang serupa dengan bunga Sakura berjatuhan ke atas rerumputan dengan indah. Angin bertiup lembut, menerpa wajahku dan Minhyuk perlahan.

Setelah sekian lama terdiam, ia kemudian berbicara,

“Ini, untukmu.” Ia menyodorkan padaku sepucuk surat yang dilipat segitiga.

“Apa ini?” tanyaku.

“Bukanya nanti saja, saat kau ingat dan rindu padaku. Janji, ya?”

Aku mengangguk, tak mengerti apa artinya.

Melihat raut wajahku yang menunjukkan herannya aku, ia tersenyum penuh arti padaku.

“Semoga, kau bisa menjadi yeoja yang lebih kuat ke depannya, walau tanpa ada aku. Semangat! ” katanya sembari mengepalkan tangan dan mengacungkan tangannya ke udara.

“Tanpa ada… kau? Mengapa kau… mengatakan ini padaku?”

Ia menatap langit biru nan cerah, lalu menjawab tanyaku, “… tak ada yang abadi, Eunjo.”

Aku mengerinyit heran.

Namun…

“Aduh!” Minhyuk memegang perutnya.

“Minhyuk-ah! Apa… sakitnya terasa lagi?”

“Sudah… hhh… tak apa…” jawabnya sambil tersengal, menahan sakit.

“Tak apa bagaimana?! Suster!” seruku panik sambil beranjak bangkit dan memanggil seorang suster.

“Eunjo-ya… Akh…”

“Suster!” seruku, tak mempedulikan panggilannya.

“Eunjo…” Kepalanya terantuk lemas ke atas tanganku. Darah hangat mulai mengalir dari hidung dan mulutnya.

“SUSTER!”

***

Terduduk sambil tergugu di ruang tunggu, aku meremas tanganku. Merasa bersalah tak tahu menahu kondisi Minhyuk yang sebenarnya, demi aku. Agar aku tak memikirkannya saat aku mengerjakan UN.

Bodoh. Minhyuk bodoh… begitupun aku. Aku mengepalkan tanganku dan memukul pahaku sendiri.

Beberapa saat kemudian, Jinhyeon dan Seonnyeo datang dan melihat sekeliling setelah turun dari lift rumah sakit, mungkin mencariku.

Kemudian, Seonnyeo menoleh padaku dan memekik, “Eunjo-ya!” Seonnyeo pun berlari padaku, disusul Jinhyeon.

“Ada perkembangan?” tanya Jinhyeon.

Aku menggeleng, masih tergugu.

Seonnyeo dan Jinhyeon duduk di samping kiri dan kananku, lalu menepuk bahuku. Mencoba menahan tangis, Jinhyeon menghiburku.

“Tenanglah… uri ganghan Minhyuk akan baik-baik saja…”

Aku tak yakin itu. Kondisinya sudah parah, dan sangat kecil peluangnya untuk disembuhkan. Aku tahu itu.

***

Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari UGD dengan raut muka yang tak menenangkan kami.

Aku bangkit dari kursi dan menyongsong dokter yang menangani Minhyuk.

“Sonsaengnim, bagaimana keadaannya? Apakah… ia sudah melewati masa kritis? Ia… baik-baik saja ‘kan, dok?” berondongku. Jinhyeon dan Seonnyeo ikut bangkit bersamaku dan berdiri di sampingku.

Dokter menghela napas. “Maaf, aku…”

DEG! Dadaku nyeri, seperti ada sesuatu yang menghantam jantungku tanpa ampun.

“Jangan bohong! Katakan bahwa ia baik-baik saja!” teriakku.

“Nona, ini kenyataannya… Kami… tak bisa menyelamatkannya.”

Aku membekap mulutku. “Ini tak mungkin… Minhyuk pasti bohong… Ia… ia pasti hanya tertidur pulas, itu saja!” ucapku, masih tak menerima kenyataan. Tubuhku lemas dan oleng. Untunglah Jinhyeon menangkapku segera.

“Sabarlah, Eunjo… Tabah…” ujarnya sambil memapahku berdiri dan mengusap air matanya.

Seonnyeo yang shock terdiam, berdiri mematung. Lebih-lebih saat sebuah ranjang didorong keluar. Ranjang dimana seseorang yang kami sayangi dan yang kami kenal sebagai sahabat dekat kami, terbaring kaku dengan wajah yang damai.

Aku terduduk di samping ranjangnya, dan mengelus wajahnya yang kini pucat pasi. Wajah yang selalu tersenyum untukku. Wajah yang menenangkanku.

Selamat jalan, Minhyuk.

***

~Setelah pemakaman, sehari setelah meninggalnya Minhyuk~

Aku terdiam di dalam kamar, memegang surat yang dilipat segitiga dari Minhyuk.

Bukanya nanti saja, saat kau ingat dan rindu padaku. Janji?

Aku membukan surat itu pelan. Mungkin memang tak ada yang istimewa jika aku melihat sebatas penampilannya. Itu hanya secarik kertas HVS biasa.

Namun saat kau lihat isinya, kau mungkin akan merasa sangat kehilangan – jika kau punya sahabat seperti Minhyuk.

To : uri kwiyeo Eunjo

From : lovely Minhyuk ^^

Eunjo-ya…

Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sudah entah berada dimana, atau tubuhku sudah tertimbun tanah merah.

Namun, sebelumnya aku meminta maaf padamu kalau aku sering membuatmu merasa aneh, atau aku sering membuatmu marah.

Eunjo, masih ingat ‘kan, saat aku mengatakan padamu “…bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak,”?

Sebenarnya, itu… aduh, susah sekali menuliskannya. Pipiku bersemburat merah lho saat menulis ini. Jinhyeon dan Seonnyeo sampai geli melihatnya, saat aku menulis surat ini di rumah sakit. Keke^^

Aku… ingin mencintaimu, sedalam cinta seorang ayah kepada anak perempuannya. Anak perempuan bagi seorang anak – yang aku tahu – adalah harta yang paling berharga dibanding segalanya.

Kupikir, itu lebih bagus dari cinta sepasang kekasih semata ^^

Jadilah yang terbaik! Pemenang adalah yang berhasil membuat kekalahan tunduk padanya. Kalahkan kekalahan dengan cara seorang pemenang, ya? Janji?

Yang baik selalu menang. Percayalah.

Sarangheyo, chagi ^^

Kang Minhyuk

***

Setelah aku lulus – dengan peringkat 1 se-kota Seoul di tangan, aku masuk ke SMA dan PT favoritku. Akhirnya… seperti inilah aku. Seorang penulis novel fiksi. Novelku yang berjudul ‘My Friend, Tomoki’ sudah dijual hampir ke 50 negara dengan 48 bahasa yang berbeda.

Kudengar, Jinhyeon pun sukses menjadi seorang auriculotherapist sekaligus psikolog anak, dan Seonnyeo berhasil menjadi seorang psikiater yang juga seorang pemain piano jazz terkenal di Busan bersama suaminya, Lee Jinki.

Ah, indahnya persahabatan kami bertiga.

[FLASHBACK EUNJO OFF]

Aku kembali menatap surat Minhyuk di tengah cahaya temaram yang tercipta oleh lampu-lampu jalanan Tokyo. Kemudian, menutupnya sambil tersenyum penuh arti.

Kutarik selimut beludru merah yang tersedia di depanku. Kemudian, masuk ke alam mimpi.

Semoga saja, Minhyuk kembali tersenyum padaku dengan bangga dalam mimpi.

{FIN}

^)^

EPILOGUE :

Sekarang aku tahu tujuanmu. Bungkukan sedalam samudera, terima kasih seluas semesta, mungkin belum cukup… untuk cintamu.

^)^

source : ffindo.wordpress.com
READMORE - ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 3

ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 2

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 19.35 0 komentar
~ UN ~

UN pertama, Matematika. Dilaksanakan di bawah dinginnya pagi, tanggal 25 April 2011.

Suasana kelas menjadi hening. Guru pengawas dari luar sekolah duduk di bangku guru di depan kelas.

Aku terus membulatkan jawaban dengan penuh keyakinan. Kuhitung dan kubaca dengan teliti. Jia yang iri di sebelahku terganggu dengan senyumku yang terus mengembang setiap kali aku berhasil memecahkan sebuah soal.

Dengan keyakinan teguh di hatiku, aku mengerjakan semuanya. Rumus-rumus cepat yang diajarkan Minhyuk padaku, nasihat-nasihatnya…

Yap! Aku sudah selesai.

Aku menaruh pensilku pelan ke atas meja. Karena sudah tak diperbolehkan untuk pergi ke kamar mandi, aku menyingkirkan kertas jawaban ke samping dan tidur di atas meja.

***Seusai UN Matematika, aku menemui Jinhyeon dan Seonnyeo yang berada di ruang sebelah – karena Minhyuk tak terlihat sedari tadi.

Saat aku menemukan mereka, mereka berdua berjalan dengan lunglai. Mata Seonnyeo sembab dan Jinhyeon seperti kehilangan tenaga.

“Lho? Ada apa dengan kalian?”

Mereka kaget ketika mendengarku bertanya pada mereka sebelum mereka menyadari kedatanganku.

“Eh? Tidak… Seonnyeo kehilangan… hewan peliharaannya tadi pagi. Dia sangat sayang pada hamsternya yang sayangnya tadi malam… mati karena sakit,” jelas Jinhyeon.

Namun entah mengapa, dari nada bicaranya dan senyum Jinhyeon yang agak dipaksakan mencerminkan bahwa ada sesuatu yang salah terjadi hari ini.

Apa ini tentang Minhyuk?

“Minhyuk kemana ya? Dia tak terlihat dari tadi…”

“Entahlah… mungkin dia ke kamar mandi?” jawab Jinhyeon.

“Iya juga ya… Ah, aku mau ke kantin dulu. Kalian mau ikut tidak?”

“Ah, mianhae Eunjo, aku dan Seonnyeo langsung pulang. Seonnyeo ada urusan keluarga, begitu pula aku. Saudaraku menikah setelah ini. Mianhae, Eunjo…”

“Ooo… Tak apa, chukaeyo! Aku ikut senang,” jawabku.

“Ye… Aku pulang dulu, Eunjo. Annyeong…”

“Ne…” Aku pun berjalan ke kantin sendirian.

***
Begitu seterusnya sampai UN terakhir, IPA, tanggal 28 April 2011. Minhyuk selalu tak terlihat. Baru kutahu saat aku tanya pada Jonghyun selepasnya di kantin sekolah sebelum aku pulang.

“Jonghyun, Minhyuk kemana, ya?”

“Lho? Kau baru tahu kalau dia tak masuk terus saat UN?”

Perutku mendadak mulas. “Mworago? Minhyuk… tak masuk selama UN?”

“Iya. Aku belum tahu sampai sekarang apa penyebabnya. Aku tahu dia dekat denganmu, wajar saja kalau kau mencarinya. Aku duluan, Eunjo…”

“Ye…”

Minhyuk… tak masuk selama UN?

Pabbo ya, Eunjo. Mengapa tak mencari tahu perihal Minhyuk sebelum UN?

Saat aku ingin pergi dari kantin menuju ke gerbang sekolah, Jinhyeon dan Seonnyeo menjelang di depan mataku.

“Annyeong, Eunjo…” sapa Seonnyeo.

“Ne, annyeong! Aduh, kemana saja kalian? Selama UN kemarin jarang sekali menemuiku, selalu langsung pulang…”

“Eunjo… Aku dan Seonnyeo ingin mengajakmu ke satu tempat. Lebih baik kita pergi sekarang, yuk!” ajak Jinhyeon sambil menarik tanganku.

“Eh? Kemana?”

“Ke satu tempat. Sudah, tenang saja…” tahu-tahu kami sudah sampai di depan mobil Daewoo milik Jinhyeon.

“Masuklah,” ujar Jinhyeon.

“Ah, kau dulu… Kau ‘kan yang punya…”

“Tidak, tidak apa-apa.” Jinhyeon mempersilakanku duduk sambil membukakan pintu untukku.

Aku masuk ke dalam mobilnya dengan canggung. Jinhyeon dan Seonnyeo menyusul masuk.

***
Beberapa saat kemudian, kami tiba di sebuah tempat. Gedung putih megah menjulang tinggi dengan jendela-jendela manis yang menghiasi setiap lantainya.

Perkantoran? Bukan.

Hotel? Bukan.

Rumah Sakit Ginjal.

Perutku semakin mulas. Jinhyeon dan Seonnyeo lebih dulu keluar dari mobil, kemudian membukakan pintu untukku.

“Eunjo-ya, keluarlah. Ini bukan sesuatu yang mengerikan,” ujar Jinhyeon lirih walau tersungging seulas senyum di wajahnya. Seonnyeo menepukkan tangannya di bahuku dan menatap dengan tatapan semua-akan-baik-baik-saja.

Dengan perasaan yang tak menentu, aku mengikuti mereka yang kini menggandeng tangan kiri dan kananku menuju ke dalam rumah sakit.

Tak hanya sampai depan. Mereka membawaku ke dalam lift dan naik sampai ke lantai 2. Kemudian, mereka mengajakku menuju sebuah kamar perawatan khusus.

Saat aku masuk ke dalam kamar itu, terlihat beberapa mesin-mesin besar – yang kutahu untuk proses hemodialisa atau cuci darah, Seonnyeo yang memberitahuku – dan ranjang-ranjang di samping mesin dialisis, dimana orang-orang penderita gagal ginjal terbaring.

Aku terdiam di pintu masuk. Jinhyeon dan Seonnyeo menarikku untuk lebih jauh ke dalam.

“Lepas dulu alas kakimu, lekas ke dalam,” ujar Seonnyeo.

Aku melepas alas kakiku perlahan dan menebar pandangan ke sekeliling. Pasien disini sepertinya benar-benar butuh perawatan khusus sehingga yang dirawat di kamar ini sedikit sekali.

Namun wajah mereka yang pucat dan agak kusam membuatku agak takut dan cemas.

“Eunjo-ya, pakai ini dulu dan cuci tanganmu,” Jinhyeon menghampiriku sambil membawakanku pakaian untuk penjenguk – entah apa namanya itu – dan menuntunku ke wastafel.

“Ah, ne… Gomapta, Jinhyeon-ah…” Kemudian, aku mencuci tanganku dan memakai pakaian khusus tadi. Kulihat Jinhyeon dan Seonnyeo juga sudah memakainya.

Setelah aku selesai memakai baju khusus, Jinhyeon menarik tanganku ke sebuah kasur paling ujung. Kulihat seseorang yang kukenal terbaring di sana, menatapku lemah dengan seulas senyum manis yang khas.

Minhyuk.

Aku menutup mulutku dengan tangan. Hatiku trenyuh melihatnya harus bertemankan mesin hemodialisa setiap malam.

Aku tak ingin menangis, namun air mataku dengan sendirinya mengalir. Aku mengangkat tanganku, dan berkata tersendat-sendat,

“A… annyeong, Minhyuk-ah…”

Ia menjawab dengan suara parau, “Ne… annyeong Eunjo-ya. UN-mu bagaimana? Semua berjalan dengan lancar?”

Aku berjalan lebih dekat ke arahnya, dan akhirnya terduduk di samping ranjangnya.

Tiba-tiba, “Ah! Aku baru ingat,” ujarnya. Ia bangkit perlahan, meminta seorang suster yang lewat mencabut selang dari dializer-nya.

“Minhyuk! Mwo haneun geoya?!” bisikku cemas saat selang-selang Minhyuk dilepas satu-persatu.

Ia beranjak turun dari kasurnya, dan memegang tanganku. “Ayo, kita ke taman. Aku bosan disini terus. Selama UN ‘kan, aku disini saja,” ujar Minhyuk.

Aku yang mendengarnya merasa bersalah, karena tak mengetahui kondisinya selama ini. Ia membuka sebuah kursi roda di sampingnya, dan duduk di atas kursi roda itu. Ia menatapku dengan pandangan memohon.

Kemudian, Seonnyeo berkata padaku, “Eunjo, kami pulang dulu. Rawat Minhyuk baik-baik, ya…” ujarnya. Aku mengangguk pada mereka. “Terimakasih, ya…” Mereka balas menunduk dan melambaikan tangan padaku dan Minhyuk.

Aku meraih pegangan belakang kursi roda itu, dan bertanya padanya. “Kau… mau kemana?”

“Kita akan ke taman yang berada di lantai 2. Mianhae, Eunjo-ya… Aku berat, ya?” candanya.

Aku tersenyum kecil.

***

source : ffindo.wordpress.com
READMORE - ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 2

ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 1

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 19.34 0 komentar


Casts : Kim Eunjo a.k.a. Zen, Kang Minhyuk CN BLUE, Kwon Seonnyeo a.k.a. Bella, Lee Jinhyeon a.k.a. Amira alias Author.
Minor Casts : Lee Jonghyun CN BLUE, Jia and Fei Miss A.
Genre : Friendship, dengan bumbu Romance kira-kira seukuran kutu kupret.
Length : Oneshot
Disclaimer : Cerita ini punya Hyeon dan mbrojol dari otak yang nggak beres, jadi kalau mau copas ijin dulu, yak *halah geer bener* dan hati-hati ketularan gila. *nodong*

Notes : Ini bukan ff gila sebenernya. Gara-gara scoring theme-nya Kim Tak Goo sih, gilanya ketiup jauh ampe ke antartika. Kedinginan noh. Buat Zen, nih emak bikinin ff-nya, maap emak lagi kagak sarap abisnya sarapnya emak sedang dibuang tidak pada tempatnya. Oh iya, di covernya, nampang 3 foto member girlband – sunhwa SECRET, dara 2ne1, dan amber f(x) – itu bias masing-masing dari zen, hyeon dan misstis. Eh, tapi kalo yang Amber itu kayaknya asli hyeon… *elus dagu* *sukses diledakkan* *eh, idup lagi*

#ini bukan ff punya admin. admin hanya copas dari sumber/source#
***

^)^

SUMMARY :
…bersenderlah di bahuku, seperti ayah dan anak. Apa tujuanmu mengatakan hal itu?

^)^

Malam telah tiba. Waktu tidur menjelang. Aku termenung di atas tempat tidurku di sebuah apartemen ternama di Tokyo. Sudah sukses menjadi seorang penulis. Aku senang dengan semua ini.

Namun, ini semua bukan karena kerja kerasku semata. Aku bisa tidur di atas kasur empuk nan nyaman sambil melihat pemandangan Tokyo di malam hari ini… karena 3 orang yang paling berharga bagiku.

Jinhyeon, Seonnyeo, dan… Minhyuk.

Minhyuk… Ah, dia. Kuambil sepucuk surat yang dilipat segitiga dari tas kecilku yang kutaruh di atas nakas.

Kubaca satu demi satu perkataannya.

Memori-memori masa laluku pun hidup kembali, dan menemaniku malam ini.

[FLASHBACK EUNJO ON]

Di sekolah – saat aku masih duduk di bangku SMP kelas 3, aku dan teman-teman diminta oleh guru bahasa untuk menulis sebuah esai yang menceritakan apa yang ibu lakukan sebelum kita tidur. Setelah itu, beliau pergi meninggalkan kelas. Kemudian, kalian bisa tahu sendiri, setelah pintu tertutup, suasana riuh ramai langsung tercipta di dalam kelas.

Menatap kertas HVS kosong yang ada di depanku, aku bingung sendiri. Apa yang harus aku tuliskan di dalamnya?

Sonsaengnim mana mau tahu… kalau eomma sudah meninggal beberapa bulan yang lalu.

“Eunjo! Ayo bergabung bersama kami!” ajak Jinhyeon padaku. Di sebelahnya, duduk Seonnyeo dan Minhyuk.

Aku mengangguk lalu mengangkat kursiku ke meja tempat mereka berkumpul. Minhyuk menggeser kursinya dan mempersilakan aku duduk di sebelahnya.

“Sebelah sini, Eunjo,” ujar Minhyuk padaku.

Aku menaruh kursi dan duduk di atasnya. Kemudian, menaruh kertas HVS di atas meja dengan perasaan bercampur aduk.

Seonnyeo dan Jinhyeon yang tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku, menoleh padaku dengan rasa khawatir. Lebih-lebih Seonnyeo yang melihat jelas mataku – yang nyaris mengeluarkan air mata.

“Eunjo… Mengapa tak minta izin pada sonsaengnim agar kau tak usah menulis karya ini?” tanya Seonnyeo.

Aku terdiam. Tak bisa menjawab.

“Iya, Eunjo. Aku khawatir jika ini membuatmu semakin sedih,” sambung Jinhyeon.

Sejurus kemudian, saat mereka bertiga sudah mulai menulis – dengan kondisi kertasku masih kosong – beberapa anak yang hobi mengataiku berjalan dengan angkuh mendekati meja kami dan berkata,

“Sepertinya disini ada yang tidak memiliki ibu. Kasihan sekali dia…” ujar seorang yeoja dengan suara manja yang membuat telingaku risih.

“Aduh, iya Jia… Kasihan sekali anak itu. Dimana dia, ya?”

Jia – anak bersuara manja mengganggu tadi – manggut-manggut dan menoyor kepalaku.

“Ini dia anaknya, si pendiam di kelas kita,” ujarnya dengan suara mengejek. Malas berkompromi, aku diam saja.

“Waa, jadi dia yang sudah menjadi anak piatu? Sumbang uang berapa nih?” ujar seorang yeoja lainnya yang berada di samping Jia.

“1 won pun mungkin akan membuat dia berlonjak-lonjak gembira. Ah, jangan. 20 won sekalian, Fei!” jawab Jia.

Aku tak memperdulikan mereka. Saat aku akan menulis esai agar aku dapat mengacuhkan mereka, beberapa uang kertas menampar kepalaku keras sebelum akhirnya menghujani pakaianku.

“Hahaha. Pake tuh buat jajan!” tawa Jia, ditimpali tawa dari namja chingunya, Chansung beserta beberapa namja mengganjal lainnya.

Aku hanya terdiam, menatap satu persatu uang yang jatuh ke atas pangkuanku, dan akhirnya air mataku tak dapat kubendung.

Tiba-tiba saja kursi disebelahku terdorong kencang ke belakang. Minhyuk berdiri dengan marah. Tangan kanannya memegang tangan Jia dan tangan kirinya mengacungkan tinju pada Chansung dan gerombolannya.

“Sekali lagi kalian berlaku macam begini pada Eunjo, habislah kalian,” ancamnya.

“Dan kau, Jia,” lanjut Minhyuk, “ambil uang yang tadi kau sebarkan dengan indahnya ke atas Eunjo,” perintah Minhyuk dengan nada sarkastis.

Jia menggeleng. “Itu ‘kan sudah menjadi uangnya,” elaknya.

“Sekarang sudah menjadi uangmu lagi. Bagus sekali, bukan?” jawab Minhyuk.

Jia yang tak bisa menjawab lagi perkataan Minhyuk akhirnya mengambil satu persatu uang yang jatuh ke lantai dengan enggan. Aku tetap terdiam, dengan tangan yang terkepal di atas meja.

“Eunjo-ya, kwaenchanhayo?” tanya Seonnyeo. Jinhyeon beranjak dari kursinya, dan menoyor kepala Fei – yang setia berada di samping Jia – dingin.

“Aya! Hiih, sakit tauk!” keluh Fei nyaring.

“Itu tak sesakit hati Eunjo, bodoh,” lanjut Jinhyeon. Kemudian, Jinhyeon mendekatiku dan bergabung bersama aku dan Seonnyeo.

Jinhyeon dan Seonnyeo menepuk kedua bahuku. Kemudian, Minhyuk menarik tanganku.

“Eunjo-ya, kkaja. Kita keluar dari sini. Kalian kalau mau ikut…” Minhyuk tersenyum, “…ikut saja. Akan lebih baik.”

Jinhyeon dan Seonnyeo mengikuti aku dan Minhyuk. Minhyuk yang awalnya memegang tanganku kini mulai merangkulku.

Rangkulannya yang hangat membuatku ingin menangis.

Apa ini yang dirasakan seorang anak jika dipeluk oleh ibunya?

Eomma…

“Eunjo?” tanya Minhyuk yang melihat air mataku mengucur semakin deras.

Aku menoleh kepadanya dan tersenyum sambil terus menangis.

“Gomapta,” ucapku lirih. “Kau… seperti seorang ibu bagiku.”

“Eh?” Minhyuk bingung untuk sesaat, lalu tersenyum. “Tak usah kaku begitu…” lanjutnya sambil menyenggolku yang salah tingkah dan berusaha menjaga jarak, “… bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak. Aku ‘kan bukan perempuan,” candanya.

Aku bersender di atas bahunya perlahan. Kudengar Jinhyeon dan Seonnyeo berdeham pelan di belakangku. Aku menoleh, dan mereka cengar-cengir padaku.

Untungnya… aku masih mempunyai sahabat seperti mereka di kelas.

Yang menghiburku di saat duka dan menemaniku di saat suka.

Kami berempat berhenti di depan balkon. Minhyuk menoleh padaku dan berkata,

“Angin hari ini lembut sekali… Rasanya sayang bila dilewatkan.” Ia tersenyum padaku, dan menlanjutkan perkataannya. “Eunjo, tutup matamu.”

Aku menutup mataku.

“Rasakan hembusan angin yang menerpa wajahmu.”

Aku merasakannya.

“Yakinlah… ibumu senang di atas sana, melihatmu masih sangat menyayanginya.”

Aku belum terlalu yakin.

Aku belum menjadi anak yang baik bagi ibu. Prestasi apapun belum aku cetak. Piagam penghargaan satu-satunya di laci ibu hanya saat aku mengikuti lomba mewarnai saat aku masih TK.

Kurasakan dua tangan lainnya menepukku lembut. “Kami pun selalu berada disini, untukmu. Spesialnya… Minhyuk,” canda Seonnyeo yang ditimpali oleh deham Jinhyeon.

Aku membuka mataku dan menatap mereka. “Ya!” Aku memukul bahu mereka sambil tertawa bersama mereka.

[FLASHBACK EUNJO OFF]

Aku tersenyum sendiri saat mengingat rangkulan Minhyuk padaku. Mataku mulai panas saat terngiang apa yang ia katakan padaku,

“…bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak. Aku ‘kan bukan perempuan.”

Bahkan, ayahku pun tak seperti itu.

Kebaikan Jinhyeon dan Seonnyeo…

“Eunjo, mengapa tak minta izin pada sonsaengnim agar kau tak usah menulis karya ini?”

“Itu tak sesakit hati Eunjo, bodoh.”

Ah, mereka. Benar-benar…

Aku meringkuk di atas kasurku. Menarik selimut, bersiap-siap terjun ke alam mimpi ‘tuk menyongsong hari esok.

~ 1 semester kemudian, Ujian Sekolah ~

Ujian Nasional sudah di depan mata. Kami makin semangat belajar. Minhyuk terus menerus mengontrol progress nilai matematikaku, Jinhyeon mengajariku tata bahasa Inggris dan Korea, dan Seonnyeo membuatkan ringkasan khusus IPA untukku.

Kami selalu belajar di balkon tempat Minhyuk, Jinhyeon dan Seonnyeo menghiburku setiap istirahat selepas membeli makanan ringan di kantin. Menurut kami, itulah tempat belajar yang paling mengasyikkan, karena tak ada pengganggu.

Prestasiku semakin meningkat. Minhyuk senang karena matematikaku mencapai nilai 100 dalam latihan UN, Jinhyeon lega karena nilai bahasaku yang biasanya di bawah garis kemiskinan kini mencapai angka 95, dan Seonnyeo menatapku berbinar-binar mendapati nilai rata-rata IPA-ku mencapai angka 90.

Nilai US-ku pun terdongkrak sampai dari 7 atau 8 pelajaran, rata-ratanya menduduki peringkat 2 di sekolah. Jung Yonghwa selalu paling atas, tapi ini sangat memuaskan bagiku meskipun aku tak menduduki peringkat satu.

Guru-guru bangga padaku, karena aku yang awalnya selalu mendapatkan kelas rotasi C saat pemantapan melejit mencapai peringkat 2 dalam waktu singkat.

Rasanya, terimakasih seluas galaksi dan bungkukan hormat sedalam samudera tak cukup untuk mereka.

source : ffindo.wordpress.com
READMORE - ff - (oneshot) Our Lovely Journey part 1

ff- A Little Girl part 6

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 06.56 0 komentar
Malam Ryeowook tidak bisa tidur, mungkin efek rasa penasarannya yang masih meluap. Lama dipandanginya kamar Miky, berharap ada sesuatu yang bisa ditemukannya disana.

Bingo ! Ryeowook menemukan siluet bayangan yang aneh disana. Nampaknya seperti tumpukan barang yang dibiarkan menutupi lantai. Ryeowook mendesah kecewa mendapati barang tak berguna itu.

Namun dia tidak menyerah. Tetap diperhatikannya siluet itu. Lama-lama semakin jelas saja bayangan apa itu. Bayangan orang yang berbaring ! Jika dilihat dari ukurannya.. itu Miky !

Ya Tuhan..
Ryeowook terpekik pelan dan bergegas keluar dari rumahnya. Demi meyakinkan diri sendiri, bahwa penglihatannya salah. Itu bukan Miky, itu pasti boneka yang tergeletak sembarangan di kamarnya.

Masih seperti siang tadi, pintu rumah Miky keras sekali untuk bisa didobrak. Ryeowook harus berpikir dua kali agar bisa menemukan cara yang tepat. Untunglah matanya cepat menemukan seonggok kayu besar di pekarangan itu.

Tanpa menunggu lagi, Ryeowook memecahkan kaca jendela rumah Miky. Tidak dipedulikannya serpihan kaca yang menusuk kulit ketika dia menerobos masuk.

Ryeowook berlari cepat menaiki tangga, menuju kamar yang diduganya sebagai kamar Miky. Intuisinya bekerja. Dia membuka sembarang pintu kamar di depannya dan menyelinap masuk.Tangannya menggapai saklar lampu di dinding, ketika mendapati kamar yang dimasukinya gelap gulita.

Ruangan berubah terang, dan Ryeowook terkesiap menutup mulutnya. Benar yang dilihatnya, itu Miky. Dengan bibir membiru, dia terbujur kaku di lantai. Chocho ikut tergeletak di sampingnya.

“Miky, bangun. Ini Oppa.” Ryeowook menepuk pipi Miky yang terasa dingin itu. Tak ada respon, yang ada tangan Miky terkulai lemah di pangkuan Ryeowook.

Ryeowook menggeleng, menjernihkan isi kepalanya. Tidak, dia tidak boleh memikirkan hal terburuk dari semua ini.
~~~~~~
Ryeowook tidak bisa menahan air matanya lagi ketika mendengar penjelasan dokter. Miky sudah tiada. Tepatnya kemarin. Dokter menduga, Miky sempat terserang demam tinggi, namun tidak direspon. Dia dibiarkan begitu saja, ditambah dehidrasi yang parah.

Ryeowook meninju tembok di depannya, melampiaskan rasa kesal. Keluarga macam apa itu? Meninggalkan anaknya yang sakit sendirian di saat sakit. Mereka pikir Miky itu sekuat apa?

“Oppa jaga diri juga, semoga kita bisa bertemu lagi.” perkataan Miky terngiang di benak Ryeowook, membuatnya merinding.

Kita bertemu lagi, Miky. Tapi dalam keadaan yang berbeda. Kenapa tidak kau tepati janjimu? Tidak bisakah kau menunggu Oppa dulu? Jika waktu bisa diulang, Oppa bersumpah akan membawamu pergi dari rumah itu.

Dan sisa malam itu digunakan Ryeowook untuk menyalahkan keadaan.
~~~~~~
Ryeowook bersikeras mengurus pemakaman Miky sendiri. Pantang baginya menghubungi keluarga Miky yang tak jelas keberadaannya itu.

Semua benda milik Miky yang dianggap Ryeowook sebagai kenangan pun disimpannya. Terutama Chocho. Boneka yang belum lama menemani Miky itu, menjadi saksi bisu apa yang terjadi pada Miky. Andai dia bisa berbicara, Ryeowook akan menginterogasinya macam-macam.

Bunga di pekarangan yang selama ini dijaga Miky, ikut layu seiring berjalannya waktu. Dia merasakan sendiri kehilangan pemiliknya, dan memilih mati dibandingkan diurus oleh orang tak bertanggung jawab.

Tak ada lagi tawa ceria maupun keributan di rumah Miky. Semua merasa kehilangan, terutama Ryeowook. Tidak ada lagi yang menyapanya di pagi hari. Tidak ada lagi yang harus dijaganya dengan ekstra. Dan tidak ada lagi seorang gadis kecil yang harus dikhawatirkannya.

Akhirnya, Ryeowook memilih pindah lagi. Dia akan menyewa apartemen di dekat kampusnya. Bukannya ingin melupakan Miky, namun dia tidak bisa mengontrol kebenciannya bila teringat keluarga Miky. Dia harus memulai hidup baru.
~~~~~~
Berita utama sebuah koran menggemparkan rumah Ryeowook pagi-pagi. Ryeowook yang masih mengantuk berubah terbelalak ketika membaca isi berita itu.

Keluarga Miky ditemukan menjadi korban sebuah kecelakaan. Mobil yang mereka tumpangi masuk ke jurang dan meledak. Tidak ada yang selamat, semua tewas seketika. Keadaan paling parah menimpa Jean. Ah, Ryeowook sendiri tidak tega membacanya.

Bagai semilir angin, Ryeowook mendengar bisikan suara Miky. “Oppa tenang saja. Meskipun sendirian, aku yakin Tuhan selalu bersamaku.”

THE END

source : superjuniorff2010.wordpress.com
READMORE - ff- A Little Girl part 6

ff- A Little Girl part 5

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 06.55 0 komentar
Ryeowook mengumpat dalam hati mendapati tugas kuliahnya yang menumpuk. Bukan masalah apa, tapi itu berarti dia harus sibuk selama beberapa hari di rumah temannya. Ya, dia memutuskan akan menginap di rumah temannya yang terkenal rajin mengerjakan tugas. Memberi keuntungan tersendiri bagi Ryeowook.

Namun itu berarti juga dia harus meninggalkan Miky selama beberapa hari ini. Baru saja kemarin dia melihat Miky disiksa, bagaimana hari esok?

Maka dari itu, hari ini sebelum berangkat Ryeowook akan menemui Miky dulu. Untunglah Miky cepat membukakan pintu setelah Ryeowook memencet belnya.

“Hai Oppa. Ada apa?” sapa Miky ramah. Tangannya memeluk Chocho erat.

Ryeowook menunduk dan memainkan rambut Miky. “Miky baik-baik saja kan? Kemarin diapakan Jean?”

Miky terkekeh, dan melipat lengan bajunya. Bekas cakaran yang masih baru terlihat di lengannya, mendampingi goresan duri beberapa hari yang lalu. Ryeowook meringis sendiri melihatnya.

“Kemarin Jean Onnie ingin merusak Chocho. Tentu saja ku pertahankan, karena Chocho adalah pemberian dari Oppa yang harus dijaga.” ucap Miky, tersenyum lebar.

Ryeowook mengeluh pelan. Dia ingin lebih lama disini. Mendengar cerita dari Miky, menghiburnya, dan melindunginya. Tapi apa daya, dia hanya memiliki sedikit waktu. Temannya sudah menunggu.

Segera disampaikannya pada Miky maksud tujuannya kemari. “Miky, Oppa harus pergi selama beberapa hari ini. Miky tidak apa-apa kan? Miky bisa menjaga diri sendiri kan?”

Mata Miky berkaca-kaca, menandakan hujan yang sebentar lagi turun dari matanya. Dia mendongak ke arah Ryeowook dengan ekspresi murung. “Oppa tidak akan lama kan? Oppa tidak akan meninggalkan Miky kan?” tuntutnya.

Ryeowook tersenyum, meskipun hatinya tidak. “Tentu saja Oppa akan kembali. Jadi Miky jangan nakal ya. Jaga diri Miky, jangan terlalu sering bertengkar dengan Jean. Berbahaya.” pesannya.

Miky mengangguk dengan patuh, tidak berkata apa-apa lagi. Dia mengecup pipi kanan Ryeowook secara tiba-tiba. “Oppa tenang saja. Meskipun sendirian, aku yakin Tuhan selalu bersamaku. Oppa jaga diri juga, semoga kita bisa bertemu lagi.”

Kalimatnya cukup membuat Ryeowook merinding. Entah kenapa.
~~~~~~

Selama mengerjakan tugas, Ryeowook hampir kehilangan seluruh konsentrasinya. Pikirannya tertuju pada Miky. Perasaannya juga, mengatakan ada hal tidak baik yang menimpa Miky.

Akibatnya, tugas yang menumpuk diselesaikannya hanya dalam waktu tiga hari. Cukup terburu-buru memang, namun ia tak peduli. Yang penting dia bisa cepat pulang dan bertemu Miky.

Baru menginjakan kaki di pekarangan rumah Miky, dia langsung memencet bel rumah itu tak sabar. Keinginannya untuk bertemu Miky sudah menggebu-gebu. Dia bahkan tidak mampir ke rumahnya sendiri sekedar untuk menaruh tas.

Lama menunggu, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Ryeowook mengintip ke dalam, suasananya memang sepi sekali.

Diburu rasa penasaran, Ryeowook mencoba mendobrak pintu itu. Tapi tetap saja, dicoba berapa kali pun tidak akan berhasil. Sepertinya rumah ini memang dirancang sebagai anti maling.

“Hei Ryeowook, rumahmu itu disini. Kenapa malah mencoba masuk kesana?” suara khas eommanya membuat Ryeowook kaget. Terpaksa dia menuju rumahnya dan meninggalkan rasa penasaran akibat rumah Miky yang tak kunjung terbuka.

“Untuk apa kau kesana? Bertamu? Percuma saja. Sehari setelah kau pergi, mereka sekeluarga pergi juga.” eomma Ryeowook masih melanjutkan ceramahnya meskipun Ryeowook sudah berada di dekatnya.

Tapi bagi Ryeowook, itu menjadi informasi penting. “Pergi kemana? Eomma yakin mereka pergi sekeluarga? Tidak ada yang ditinggal?” tanya Ryeowook.

“Mana ku tau. Aku tidak hapal siapa saja anggota keluarga mereka. Biarpun kita orang baru, mereka lebih tertutup daripada kita.” jawab Eomma Ryeowook acuh.

Tidak ada lagi celah bagi Ryeowook untuk bertanya. Kembali dia hanya bisa berharap. Dimana pun Miky berada, semoga keadaannya baik-baik saja.
~~~~~~

source : superjuniorff2010.wordpress.com
READMORE - ff- A Little Girl part 5

ff- A Little Girl part 4

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 06.53 0 komentar
Miky tidak hentinya menangis sesegukan di pelukan Ryeowook. Ryeowook membawanya ke rumah, karena menurutnya di rumah Miky tidak aman.

“Sudah, jangan menangis lagi. Miky tidak salah. Dia yang salah.” Ryeowook menghibur Miky dengan mengelus rambut panjang Miky.

Miky mendongak menatap Ryeowook. Butiran air mata mengaburkan pandangannya. “Bukan begitu, Oppa. Aku kesal karena dia mengakui tugas itu miliknya. Padahal Oppa yang membantuku mengerjakannya. Otomatis tugas itu menjadi milik Oppa juga. Enak sekali dia mengaku macam-macam.” Miky mencurahkan semua kekesalannya.

“Sudah, yang penting Miky jujur kan pada ibu guru? Itu yang terpenting. Tidak usah pedulikan dia, oke?”

Miky mengangguk dan memeluk Ryeowook semakin erat. Baru disadari oleh Ryeowook beberapa menit kemudian bahwa Miky tertidur.

Ryeowook menggendong Miky ke tempat tidurnya. Kemudian menyelimutinya. Selanjutnya Ryeowook bingung harus melakukan apa. Dia tidak berpengalaman menghadapi anak kecil dalam keadaan seperti ini. Apalagi saat ini dia sendirian di rumah. Eomma dan adiknya sedang pergi keluar.

Jadilah kegiatan Ryeowook sekarang hanya memandangi Miky yang tertidur pulas. Wajah polos nan pucat itu ternodai beberapa lebam biru. Tidak jauh berbeda dengan tangannya, membekas cakaran maupun cubitan disana-sini. Kurang banyak kah penyiksaan yang diberikan pada anak serapuh ini?

Tidak kah mereka memikirkan perasaannya, mentalnya. Tidak sadarkah mereka bahwa Miky hanyalah seorang anak kecil yang membutuhkan kasih sayang? Bukan kekerasan maupun makian yang diterimanya selama ini.

Tidak bisa kah sedikit saja mereka mengubah pola pikir?
~~~~~~

Miky terbangun dan mendapati sesuatu menghalangi pandangannya. Sebuah boneka beruang kecil berwarna coklat. Miky mendekapnya erat, dalam sekejap jatuh hati pada boneka itu.

“Miky suka boneka itu? Oppa membelikannya beberapa hari yang lalu untuk Miky. Maaf baru sempat memberinya sekarang.” Ryeowook memberi penjelasan.

“Benar Oppa? Wah, terima kasih.” Miky memeluk boneka itu lagi. “Mulai sekarang namamu Chocho. Nama yang bagus kan?” Miky berbicara sendiri pada boneka itu. Membuat Ryeowook tertawa.

Perlahan didekatinya Miky seraya membawa segelas cokelat panas yang dibuatnya tadi. Miky mengambilnya dengan senyuman terima kasih.

“Oppa boleh bertanya pada Miky? Tapi Miky jawab yang jujur ya.” tanya Ryeowook hati-hati.

Miky membalasnya dengan tatapan jahil. “Aduh Oppa, jangan malu-malu begitu. Tanyakan saja.”

Ryeowook menatap Miky serius, dan dengan pelan melafalkan pertanyaannya. “Apa Miky tidak lelah terus disakiti oleh saudara sendiri? Apa tidak ada keinginan untuk memberontak? Atau mungkin membalasnya?”

Miky tersenyum kecil. Dia tidak mau memandang ke arah Ryeowook, malah ke Chocho si boneka. “Jawabanku panjang, Oppa.”

“Tidak apa-apa, ceritakan saja. Kita punya banyak waktu. Dan Oppa berjanji tidak akan mengganggu selama Miky berbicara.” bujuk Ryeowook.

Miky menghela nafas, dan binar di matanya berubah suram. “Miky selalu berpikir, bahwa Miky itu seperti boneka yang tidak bernyawa. Bukan boneka lucu seperti Chocho, tetapi boneka sebagai pelampiasan. Joon Oppa dan Jean Onnie tidak segan memukul Miky jika sedang iseng ataupun kekurangan kerjaan. Jean Onnie terutama, salah sedikit saja Miky akan merasakan akibatnya.” Miky meringis kecil.

“Miky ingin sekali melawan, Oppa. Bohong jika Miky bilang itu semua tidak sakit. Miky bahkan menangis dalam diam agar tidak ada yang mengetahuinya.”

Air mata mulai menuruni pipi Miky, membekaskan sebuah kesedihan.

“Tapi itulah, Oppa. Miky itu boneka bagi mereka. Miky tidak ada daya untuk melawan. Mereka jauh lebih besar, berdua pula. Miky tidak akan bisa menang jika melawan.”

Ryeowook menghapus air mata itu perlahan. “Lalu kenapa tidak Miky laporkan saja pada eomma? Eomma bisa menghukum mereka berdua.” tanyanya.

Miky menggeleng lemah. “Miky sudah sering melaporkannya pada eomma. Tapi ujung-ujungnya eomma selalu memarahi Miky. Eomma bilang Miky itu manja dan egois. Joon Oppa dan Jean Onnie itu hanya ingin mengajak Miky bermain, tapi Miky yang tidak peka.”

“Oppa melihat sendiri kan bagaimana pintarnya Jean Onnie mengambil hati eomma? Ditambah Joon Oppa, mereka menjadi anak kesayangan eomma. Sejahat dan sesalah apapun mereka pada Miky, tetap sah Miky yang bersalah.”

“Padahal eomma sering bertanya ketika melihat Miky murung. Namun jika Miky menjawab jujur, eomma pasti marah. Dari situ Miky tau, ucapan Miky itu layaknya angin lalu bagi eomma. Biarpun jujur bagaimana pun, tidak akan dipedulikan. Miky itu sudah dicap salah di mata eomma.”

Tangis Miky pecah. Dan dia memeluk Chocho untuk menenangkan diri.

“Miky selalu berpikir, untuk apa Miky ada disana? Miky pernah mencoba kabur namun ditahan eomma. Apa gunanya itu, Oppa? Jika akhirnya tak ada perlakuan baik untuk Miky.”

Ryeowook mengelus rambut Miky, dan menatapnya dalam. “Kalau begitu Miky tinggal disini saja, dengan Oppa. Kebetulan Oppa punya adik yang SD juga, jadi Miky ada teman. Bagaimana?” tawarnya.

Miky terdiam sejenak, kemudian menggeleng. “Maaf Oppa, tidak akan bisa. Eomma pasti akan memarahi Oppa habis-habisan.”

“Tapi..”

“Tidak apa-apa, Oppa. Sejahat apapun, mereka adalah keluarga Miky. Miky harus bersyukur masih memiliki keluarga. Iya kan?” senyum terlihat kembali di wajah Miky.

“Dan yang terpenting, sebanyak apapun orang yang jahat pada Miky, tetap ada orang yang akan selalu menyemangati Miky. Yaitu oppa.” Miky menghambur ke pelukan Ryeowook.

Ryeowook tertegun, menyesapi jawaban panjang yang diberikan Miky. Cara pikirnya dewasa, dampak beberapa hal tidak baik yang terus menimpanya. Masih tegakah mereka berbuat jahat jika mendengar jawaban Miky ini?
~~~~~~

Tengah malam, ketika Ryeowook bersiap tidur setelah mengerjakan tugas kuliahnya. Pandangannya tertuju pada jendela kamar Miky, yang berseberangan dengan kamarnya.

Siluet bayangan dari kamar Miky terlihat jelas. Pertengkaran heboh disana melibatkan pemain biasa. Miky, Joon dan Jean.

Jika tidak ingat ini sudah jam berapa, Ryeowook ingin mendobrak pintu rumah itu lalu membawa kabur Miky. Hatinya tidak bisa membayangkan bertambahnya luka di tubuh Miky.

~~~~~~

source : superjuniorff2010.wordpress.com
READMORE - ff- A Little Girl part 4

ff- A Little Girl part 3

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 06.52 0 komentar
Setelah merasa bunga yang dikumpulkannya cukup, Ryeowook kembali ke bangku dimana dia dan Miky duduk tadi. Ternyata Miky sudah ada disana, mendahuluinya. Di tangan Miky ada banyak bunga yang jumlahnya melampaui Ryeowook.

“Ayo Oppa cepat kesini. Kita harus membuatnya sekarang juga.” Miky menepuk bangku tidak sabar.

Meski tidak mengerti benda apa yang akan dibuat Miky, Ryeowook tetap membantunya. Sebisa mungkin meringankan pekerjaannya.

“Selesai! Bagaimana Oppa? Bagus kan?” setelah 15 menit berkutat, akhirnya selesai juga. Miky memandangi hasil karyanya sambil bertepuk tangan heboh.

Ryeowook ikut takjub. Bunga-bunga yang tak terhitung jumlahnya tadi, kini berubah menjadi sebuah rangkaian yang cantik. Rangkaian itu membentuk mahkota, layaknya di cerita-cerita dongeng.

Dengan hati-hati, Ryeowook meletakkan rangkaian bunga itu di atas kepala Miky. Bagus. Miky terlihat seperti peri kecil.

Cepat Miky melepaskan rangkaian bunga itu. Dibelainya dengan lembut, seolah takut rusak sedikit saja.

“Ini bukan untukku, Oppa. Tapi untuk eomma. Eomma hari ini berulang tahun, jadi aku ingin memberinya kejutan.” terang Miky.

“Dan kau tau, Oppa? Eomma sangat menyukai bunga ini. Makanya eomma juga menanam bunga ini di pekarangan. Kau ingat kan, Oppa?”

Ryeowook manggut-manggut. Ya, bunga yang digunakan Miky sekarang sama dengan bunga yang tumbuh di pekarangannya.

Kemudian Miky melompat secara tiba-tiba dari bangku taman ke bawah. Dia menarik tangan Ryeowook dengan tergesa. “Ayo kita pulang sekarang, Oppa. Hari ini katanya eomma akan pulang cepat. Aku harus memberi hadiah ini.” ajak Miky.

Senyum ceria masih tidak lepas dari wajah Miky. Hmm, sepertinya akan menjadi kejutan manis untuk sang eomma.
~~~~~~

Ryeowook bersembunyi di balik pagar Miky, sebisa mungkin agar tak terlihat. Dia penasaran ingin melihat bagaimana reaksi eomma Miky atas kejutan dari sang anak. Namun rasa penasarannya pasti kalah dengan perasaan gugup yang dialami Miky.

Miky dengan gemetar memencet bel rumahnya. Kakinya tak henti mengetuk lantai, tanda kegugupannya naik pesat.

Begitu pintu dibuka, Miky langsung berteriak. “Happy Birthday eomma! I love you!” disodorkannya rangkaian bunga itu. Cengiran di wajahnya semakin lebar saja.

Hening. Tak ada tanggapan dari sang eomma. Terlalu terharu kah? Atau terlalu kaget?

Bukan. Sang eomma malah menampar Miky dengan kasar. Tangan kanannya merampas rangkaian bunga itu dan menghempasnya ke lantai. Kemudian diinjaknya dengan ganas hingga tak berbentuk.

“Jadi ini yang kau lakukan? Merusak kebun eomma hanya karena membuat benda tak berguna itu?” bentaknya keras. Gawat, dia salah paham.

“Bukan eomma. Miky mengambil bunga itu di taman, bukan di pekarangan kita. Yang mengambil bunga eomma itu Jean onnie.” Miky berbicara di tengah ringisannya karena sang eomma mencubitnya keras.

Sang eomma menaikkan frekuensi kerasnya cubitan, membuat Miky terpekik. “Jangan menyalahkan kakakmu! Eomma sudah mendengarnya dari Jean, bahwa kau yang melakukannya. Sudah bersalah, jangan menambahnya dengan kebohongan, Miky.”

Miky terkesiap, begitu pula Ryeowook. Ditambah lewatnya Jean di belakang sang eomma sambil memeletkan lidah, mengejek Miky.

“Miky bersumpah eomma, Jean onnie yang melakukannya.” Miky mencoba melakukan pembelaan lagi.

“Jangan menggunakan sumpah untuk sebuah kebohongan!” sang eomma semakin naik emosinya. Hampir dia menampar Miky jika Ryeowook tidak menahannya.

“Maaf, tapi benar Miky tidak bersalah. Aku melihat sendiri Jean yang melakukannya.” Ryeowook ikut ambil andil dalam menjelaskan.

“Kau siapa?” eomma Miky menatap Ryeowook dengan tatapan aneh.

“Oh, maaf.” Ryeowook membungkukan badannya sedikit. “Saya Ryeowook, tetangga baru anda. Sekaligus teman baru Miky.”

Eomma Miky menarik Miky masuk, menjauh dari Ryeowook. “Ini urusan keluarga. Kau tidak perlu mencampurinya.” ucapnya tegas. Dan menutup pintu tepat di depan Ryeowook.

Ryeowook tidak bisa berkutik lagi. Dia hanya bisa berdoa, semoga tak ada hal buruk yang menimpa Miky di dalam.

Seorang anak kecil yang umurnya 10 tahun, tidak dihargai sedikit pun setelah memberi kejutan manis untuk sang eomma. Seorang anak kecil, ditimpakan kesalahan yang tidak pernah diperbuatnya, dengan tambahan hukuman yang berlebihan. Bodoh orang yang melakukannya.
~~~~~~

Hari ini Ryeowook sibuk, dia harus mengurus kepindahan adiknya di sekolah baru. Lumayan lama pindah, orangtuanya baru meminta sekarang untuk melakukan itu.

Untunglah urusannya tidak terlalu rumit, jadi Ryeowook bisa pulang lebih cepat. Namun langkahnya terhenti, mendengar keributan di salah satu kelas.

“Saya tidak menyonteknya, Bu. Dia yang melakukannya.” terdengar suara pertama.

“Bohong Bu! Dia yang menyontek saya!” suara cempreng membalas.

Tunggu, sepertinya Ryeowook mengenal suara yang pertama. Benar saja, saat dia mengintip, ada Miky disana. Telinga kanannya dijewer oleh guru. Ada masalah apa lagi?

Ryeowook dengan lancang masuk ke ruangan kelas itu dan langsung berbicara pada guru. “Maaf, ada masalah apa? Dia adik saya.” Ryeowook menunjuk Miky.

Oh, ternyata. Ryeowook memahami permasalahan setelah dijelaskan. Miky dituduh menyontek temannya.

Menyontek apanya? Ryeowook menyaksikan sendiri kemarin bagaimana Miky mengerjakan tugas itu. Bahkan Ryeowook juga ikut membantunya.

Pasti temannya itu yang mengambil buku tugas Miky, lalu menyalinnya diam-diam. Dasar licik.

Setelah memberi pengertian yang cukup untuk sang guru, Ryeowook mendapat izin membawa pulang Miky lebih dulu. Dia tidak tahan lagi melihat keadaan Miky yang begini.

Seorang anak kecil dituduh dan dimanfaatkan kerja kerasnya oleh anak seumurannya. Dimana perasaan orang yang tega melakukannya?
~~~~~~

source : superjuniorff2010.wordpress.com
READMORE - ff- A Little Girl part 3

ff- A Little Girl part 2

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 06.50 0 komentar
Tidur siang Ryeowook terganggu akibat keributan yang berasal dari rumah di sebelahnya. Tidak salah lagi, pasti rumah Miky. Rumah itu seolah dihiasi keributan setiap hari sebagai pelengkapnya.

Ryeowook menggelengkan kepalanya, menghalau pusing. Dengan rasa kesal dan mengantuk yang tercampur aduk, dia menuruni tangga rumahnya. Setelah sampai di lantai bawah barulah dia membuka pintu rumahnya dengan kasar.

Ya, Ryeowook malas sekali harus keluar dari rumahnya saat ini. Namun perasaannya mengharuskan. Dia merasa, ada sesuatu yang tidak enak akan menimpa Miky.

Benar saja. Tiba di pekarangan rumah Miky, Ryeowook disuguhi pertengkaran antara Miky dan Jean.

“Onnie, jangan dipetik! Nanti eomma marah!” tegur Miky pada Jean, yang dengan seenaknya mencabuti bunga yang tumbuh indah di pekarangannya.

“Kalau kau tidak melapor, eomma tidak akan tau bahwa aku yang melakukannya. Ayolah Miky, ikut saja denganku.” balas Jean santai. Tangannya masih setia melakukan aktifitas itu.

Miky mengambil cara nekat, dia mendorong Jean menjauh. Namun tidak memberi pengaruh banyak, Jean masih berdiri di tempatnya. “Onnie, aku bilang hentikan!” teriak Miky tepat di wajah Jean.

Jean melengos dan menaikkan sebelah alisnya. “Lalu? Aku peduli?” tanyanya sok, dan balas mendorong Miky. Kemudian dilemparkannya ke arah Miky bunga-bunga yang sudah dipetiknya, hingga menyerupai hujan menimpa Miky. “Ayolah Miky, ini menyenangkan!” Jean memutar tubuhnya sambil tetap menebarkan beberapa bunga ke segala arah.

“Onnie.. Nanti eomma marah.” kali ini Miky berucap pelan, nyalinya mungkin ciut.

Jean menatapnya tajam. “Ah, kau memang tidak asyik, Miky.” bentaknya, lalu mendorong Miky lagi.

Miky yang tenaganya jauh dari Jean, langsung tersungkur. Lengan kanannya terusik dengan goresan memanjang akibat tertusuk duri. Jean terkekeh senang dan masuk ke rumah dengan cuek.

Ryeowook merutuki kebodohannya. Mengapa tidak sejak tadi dia menghampiri Miky? Hal itu bisa mencegah Miky terluka kembali.

“Miky, kau tidak apa-apa? Tanganmu sakit? Sini, Oppa obati.” kata Ryeowook, mengajak Miky ke rumahnya.

Namun Miky menggeleng, dia menahan Ryeowook untuk tetap pada tempatnya. “Ini tidak sakit koq, Oppa. Jadi Oppa tidak perlu repot.”

“Tapi..”

“Oppa disini saja ya, jangan kemana-mana. Tunggu aku sebentar.” Miky memotong perkataan Ryeowook dengan sebuah permintaan. Ryeowook mengabulkannya, dan Miky melesat pergi masuk ke rumahnya.

Tak sampai 5 menit dia sudah kembali dengan sebuah buku dan pensil di tangannya. “Oppa, temani aku mengerjakan tugas di taman ya. Disini berisik.” ucapnya.

Ryeowook mengiyakan saja. Yang penting baginya adalah melihat senyum Miky saat ini.
~~~~~~

“Jadi begini Oppa. Tugasnya itu aku disuruh membuat puisi bebas. Tapi aku bingung, Oppa. Aku tidak berbakat merangkai kata begitu.” jelas Miky. Sekarang dia dan Ryeowook duduk di salah satu bangku taman.

Miky serius sekali berpikir, namun terlihat lucu bagi Ryeowook. Berkali dicubitnya gemas pipi Miky.

“Sini Oppa bantu. Miky ingin membuat tentang apa? Bunga, pohon, langit, atau apa?” Ryeowook mengedarkan pandang ke sekitar. Benar juga Miky mengajaknya kesini. Banyak inspirasi yang bisa diambil.

“Aku mau bunga saja, Oppa.” jawab Miky cepat.

Lupa kah sudah bahwa dia terakhir bertengkar karena bunga?

Tetapi Ryeowook tidak terlalu memikirkannya. Dia membantu Miky mengerjakan puisi, yang diselingi candaan agar tidak terlalu serius. Memang memerlukan waktu lama, namun hasilnya juga memuaskan.

“Akhirnya selesai ! Oppa, terima kasih.” Miky melompat girang dan memeluk Ryeowook. Ryeowook tertawa dan membalas pelukannya.

“Aku yakin ini akan mendapat nilai tinggi, karena ada Oppa yang membantuku.” ucap Miky mantap. Ryeowook semakin tergelak saja mendengarnya.

“O iya Oppa, ikut aku. Oppa mau membantuku lagi kan?” tanya Miky, dengan tatapan memohon. Tanpa itu pun, sudah pasti Ryeowook mengikuti keinginannya.

Miky membungkuk dan mengambil salah satu bunga yang terjatuh di tanah. “Oppa cari bunga seperti ini banyak-banyak ya. Kalau bisa yang sudah jatuh saja. Tapi kalau memetik yang masih segar juga tidak apa-apa. Asal jangan ketahuan penjaga taman. Oke?” Miky mengedip jahil, lalu pergi mendahului Ryeowook.

Ryeowook geleng-geleng sendiri. Apa lagi yang akan direncanakan oleh Miky?
~~~~~~

source : superjuniorff2010.wordpress.com
READMORE - ff- A Little Girl part 2

ff- A Little Girl part 1

Diposting oleh Ritzki Wedanthi di 06.48 0 komentar
author : ddangkoma25
genre : angst *sediakan tisu.. :))
TAGS: Kim Ryeowook Superjunior

Hari belum terlalu sore, langit belum menampakkan warna jingganya yang menakjubkan. Ryeowook bersandar pada salah satu pohon sambil meregangkan kedua tangannya, melepas penat seharian. Dia baru saja selesai berbenah barang, dalam rangka kepindahannya ke rumah baru.

Setelah menghela nafas lega, pandangannya tertuju pada rumah besar di sebelahnya. Oh, dia baru ingat. Dia belum berkenalan dengan tetangga barunya itu, akibat terlalu sibuk sendiri. Baiklah, ini saatnya. Kebetulan dia mendengar keributan dari rumah tetangganya itu, kemungkinan besar ada orang disana.

Begitu tiba di depan rumah tetangganya itu, niat awalnya yang ingin mengetuk pintu memudar seketika. Tatapannya terpaku kaget pada pemandangan di depannya. Tidak bisa disebut langsung juga, karena dia melihat pemandangan itu dari kaca depan rumah tetangganya yang transparan.

Pemandangan itu menunjukkan seorang gadis kecil yang disiksa oleh dua orang yang lebih tua darinya. Gadis kecil itu menangis, meraung menahan sakit. Namun hal itu tidak mengurangi cubitan, pukulan, serta teriakan yang dihadiahi untuknya.

Ryeowook mencapai gagang pintu depan rumah itu dengan cepat, mencoba membukanya. Sial, terkunci. Sekeras apapun dia mencoba mendobrak, takkan berhasil.

Merasakan kehadiran Ryeowook, kedua anak yang sedang mencubiti gadis kecil itu berpandangan bingung dengan kompak. Detik berikutnya mereka menghambur berlarian, meninggalkan gadis itu sendirian.

Gadis kecil itu terseok mendekati pintu, membukakannya untuk Ryeowook. “Annyeong. Ada keperluan apa? Kebetulan orang tua saya sedang tidak ada di rumah. Ada yang ingin dititipkan?” sapanya ramah.

Mustahil dia bisa tersenyum begitu setelah menerima penyiksaan tadi. Ditambah, sungguh baik sikapnya dalam menerima tamu. Hebat. Ryeowook memujinya dalam hati.

Ryeowook kemudian menunduk, mensejajarkan tingginya dengan gadis itu. Dielusnya lembut rambut gadis itu. “Annyeong. Perkenalkan, namaku Ryeowook. Aku tetangga barumu. Siapa namamu? Salam kenal ya.” diberikannya senyum manis untuk gadis kecil itu.

“Namaku Miky. Apa aku boleh memanggilmu Wookie Oppa? Kedengarannya lebih lucu.” pinta Miky. Dia menjabat tangan Ryeowook yang jauh lebih besar darinya. Ekspresinya lucu, berbinar senang mendapatkan teman baru.

Ryeowook ikut berbinar, namun pandangan cemasnya tak lepas dari Miky. Hati-hati dipegangnya pipi Miky yang lebam. “Kau tidak apa-apa, Miky? Apa tidak sakit? Kau diapakan mereka tadi?” pertanyaan panik beruntun keluar dari mulutnya.

Miky terkekeh dan memegang tangan Ryeowook yang bertahan di pipinya. “Tentu saja sakit, Oppa. Tidak apa-apa, aku sudah biasa.” jawabnya polos.

Ryeowook terlanjur gemas. Dia menggandeng Miky menuju rumahnya. “Miky ikut ke rumah Oppa ya? Lukamu harus diobati. Mau kan?” pinta Ryeowook lembut. Dan Miky mengangguk.

Tiba di rumahnya, Ryeowook memanfaatkan waktu sesingkat mungkin untuk menemukan kotak obat. Meskipun rumahnya sudah berbenah, namun belum tertata rapi sepenuhnya.

Ryeowook hampir terlonjak girang mendapati kotak obatnya tersembunyi rapi di balik kardus bajunya. Dihampirinya Miky yang duduk santai di sofanya. Dengan telaten dilakukannya perawatan yang dikira perlu. Ada untungnya juga dulu dia mengikuti eskul yang berhubungan dengan kesehatan.

“Oppa, kau hebat. Terima kasih ya. Lukaku tidak sakit lagi.” puji Miky setelah Ryeowook selesai. Dia bahkan tidak meringis ataupun mengeluh ketika proses berlangsung. Gadis kecil yang cerdik menyembunyikan perasaanya.

“Kau diapakan mereka tadi? Omong-omong, mereka siapamu? Berani sekali melakukan itu.” tanya Ryeowook. Dicubitnya bagian pipi Miky yang tidak lebam.

“Mereka saudaraku, Oppa. Yang laki-laki namanya Joon Oppa. Yang perempuan namanya Jean Onnie. Mereka kembar lho. Tenang saja Oppa, aku sudah biasa diperlakukan seperti itu.” Miky bercerita dengan semangat. Tak ada amarah disana, dia begitu ceria.

Lagi, Ryeowook dibuatnya tertegun. Saking tidak percayanya, dia mengguncang bahu Miky pelan. “Apa tadi? Mereka sudah biasa memperlakukanmu begitu? Lalu apa reaksi orang tuamu? Diam saja?” tanya Ryeowook, tanpa sadar histeris sendiri.

Miky menunduk, dan tersenyum lemah. “Oppa akan mengetahuinya nanti.” ucapnya.

Ryeowook yang bingung ingin bertanya lagi, namun mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya ia mengajak Miky ke dapurnya, memilih beberapa kue yang terlihat lezat. Ia sempat membelinya tadi, sebagai selingan acara berbenahnya.

“Oppa, aku makan ya..” Miky berkata sebelum menjejalkan beberapa kue sekaligus ke mulutnya. Ryeowook mengangguk dan tersenyum. Dia senang melihat gadis kecil itu ceria.
~~~~~~

Beberapa hari, cukup bagi Ryeowook untuk mengenal Miky lebih dalam. Setiap hari sebelum berangkat sekolah, gadis kecil itu selalu menyapanya. Benar-benar manis.

Dalam beberapa hari itu pula Ryeowook mengetahui sedikit tentang keluarga Miky. Orang tuanya sibuk bekerja dari pagi hingga malam, tanpa sempat memperhatikan anak-anak. Besar kemungkinan mereka tidak mengetahui apa yang diperbuat Joon dan Jean pada Miky. Jadi ini yang dimaksud Miky? Atau mungkin ada yang lain?
~~~~~~

source : superjuniorff2010.wordpress.com
READMORE - ff- A Little Girl part 1
 

RITZKI WEDANTHI II Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Angry Birds Merchandise