Setelah sekian lama terdiam, ia kemudian berbicara,
“Ini, untukmu.” Ia menyodorkan padaku sepucuk surat yang dilipat segitiga.
“Apa ini?” tanyaku.
“Bukanya nanti saja, saat kau ingat dan rindu padaku. Janji, ya?”
Aku mengangguk, tak mengerti apa artinya.
Melihat raut wajahku yang menunjukkan herannya aku, ia tersenyum penuh arti padaku.
“Semoga, kau bisa menjadi yeoja yang lebih kuat ke depannya, walau tanpa ada aku. Semangat! ” katanya sembari mengepalkan tangan dan mengacungkan tangannya ke udara.
“Tanpa ada… kau? Mengapa kau… mengatakan ini padaku?”
Ia menatap langit biru nan cerah, lalu menjawab tanyaku, “… tak ada yang abadi, Eunjo.”
Aku mengerinyit heran.
Namun…
“Aduh!” Minhyuk memegang perutnya.
“Minhyuk-ah! Apa… sakitnya terasa lagi?”
“Sudah… hhh… tak apa…” jawabnya sambil tersengal, menahan sakit.
“Tak apa bagaimana?! Suster!” seruku panik sambil beranjak bangkit dan memanggil seorang suster.
“Eunjo-ya… Akh…”
“Suster!” seruku, tak mempedulikan panggilannya.
“Eunjo…” Kepalanya terantuk lemas ke atas tanganku. Darah hangat mulai mengalir dari hidung dan mulutnya.
“SUSTER!”
***
Terduduk sambil tergugu di ruang tunggu, aku meremas tanganku. Merasa bersalah tak tahu menahu kondisi Minhyuk yang sebenarnya, demi aku. Agar aku tak memikirkannya saat aku mengerjakan UN.
Bodoh. Minhyuk bodoh… begitupun aku. Aku mengepalkan tanganku dan memukul pahaku sendiri.
Beberapa saat kemudian, Jinhyeon dan Seonnyeo datang dan melihat sekeliling setelah turun dari lift rumah sakit, mungkin mencariku.
Kemudian, Seonnyeo menoleh padaku dan memekik, “Eunjo-ya!” Seonnyeo pun berlari padaku, disusul Jinhyeon.
“Ada perkembangan?” tanya Jinhyeon.
Aku menggeleng, masih tergugu.
Seonnyeo dan Jinhyeon duduk di samping kiri dan kananku, lalu menepuk bahuku. Mencoba menahan tangis, Jinhyeon menghiburku.
“Tenanglah… uri ganghan Minhyuk akan baik-baik saja…”
Aku tak yakin itu. Kondisinya sudah parah, dan sangat kecil peluangnya untuk disembuhkan. Aku tahu itu.
***
Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari UGD dengan raut muka yang tak menenangkan kami.
Aku bangkit dari kursi dan menyongsong dokter yang menangani Minhyuk.
“Sonsaengnim, bagaimana keadaannya? Apakah… ia sudah melewati masa kritis? Ia… baik-baik saja ‘kan, dok?” berondongku. Jinhyeon dan Seonnyeo ikut bangkit bersamaku dan berdiri di sampingku.
Dokter menghela napas. “Maaf, aku…”
DEG! Dadaku nyeri, seperti ada sesuatu yang menghantam jantungku tanpa ampun.
“Jangan bohong! Katakan bahwa ia baik-baik saja!” teriakku.
“Nona, ini kenyataannya… Kami… tak bisa menyelamatkannya.”
Aku membekap mulutku. “Ini tak mungkin… Minhyuk pasti bohong… Ia… ia pasti hanya tertidur pulas, itu saja!” ucapku, masih tak menerima kenyataan. Tubuhku lemas dan oleng. Untunglah Jinhyeon menangkapku segera.
“Sabarlah, Eunjo… Tabah…” ujarnya sambil memapahku berdiri dan mengusap air matanya.
Seonnyeo yang shock terdiam, berdiri mematung. Lebih-lebih saat sebuah ranjang didorong keluar. Ranjang dimana seseorang yang kami sayangi dan yang kami kenal sebagai sahabat dekat kami, terbaring kaku dengan wajah yang damai.
Aku terduduk di samping ranjangnya, dan mengelus wajahnya yang kini pucat pasi. Wajah yang selalu tersenyum untukku. Wajah yang menenangkanku.
Selamat jalan, Minhyuk.
***
~Setelah pemakaman, sehari setelah meninggalnya Minhyuk~
Aku terdiam di dalam kamar, memegang surat yang dilipat segitiga dari Minhyuk.
Bukanya nanti saja, saat kau ingat dan rindu padaku. Janji?
Aku membukan surat itu pelan. Mungkin memang tak ada yang istimewa jika aku melihat sebatas penampilannya. Itu hanya secarik kertas HVS biasa.
Namun saat kau lihat isinya, kau mungkin akan merasa sangat kehilangan – jika kau punya sahabat seperti Minhyuk.
To : uri kwiyeo Eunjo
From : lovely Minhyuk ^^
Eunjo-ya…
Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sudah entah berada dimana, atau tubuhku sudah tertimbun tanah merah.
Namun, sebelumnya aku meminta maaf padamu kalau aku sering membuatmu merasa aneh, atau aku sering membuatmu marah.
Eunjo, masih ingat ‘kan, saat aku mengatakan padamu “…bersenderlah di bahuku seperti ayah dan anak,”?
Sebenarnya, itu… aduh, susah sekali menuliskannya. Pipiku bersemburat merah lho saat menulis ini. Jinhyeon dan Seonnyeo sampai geli melihatnya, saat aku menulis surat ini di rumah sakit. Keke^^
Aku… ingin mencintaimu, sedalam cinta seorang ayah kepada anak perempuannya. Anak perempuan bagi seorang anak – yang aku tahu – adalah harta yang paling berharga dibanding segalanya.
Kupikir, itu lebih bagus dari cinta sepasang kekasih semata ^^
Jadilah yang terbaik! Pemenang adalah yang berhasil membuat kekalahan tunduk padanya. Kalahkan kekalahan dengan cara seorang pemenang, ya? Janji?
Yang baik selalu menang. Percayalah.
Sarangheyo, chagi ^^
Kang Minhyuk
***
Setelah aku lulus – dengan peringkat 1 se-kota Seoul di tangan, aku masuk ke SMA dan PT favoritku. Akhirnya… seperti inilah aku. Seorang penulis novel fiksi. Novelku yang berjudul ‘My Friend, Tomoki’ sudah dijual hampir ke 50 negara dengan 48 bahasa yang berbeda.
Kudengar, Jinhyeon pun sukses menjadi seorang auriculotherapist sekaligus psikolog anak, dan Seonnyeo berhasil menjadi seorang psikiater yang juga seorang pemain piano jazz terkenal di Busan bersama suaminya, Lee Jinki.
Ah, indahnya persahabatan kami bertiga.
[FLASHBACK EUNJO OFF]
Aku kembali menatap surat Minhyuk di tengah cahaya temaram yang tercipta oleh lampu-lampu jalanan Tokyo. Kemudian, menutupnya sambil tersenyum penuh arti.
Kutarik selimut beludru merah yang tersedia di depanku. Kemudian, masuk ke alam mimpi.
Semoga saja, Minhyuk kembali tersenyum padaku dengan bangga dalam mimpi.
{FIN}
^)^
EPILOGUE :
Sekarang aku tahu tujuanmu. Bungkukan sedalam samudera, terima kasih seluas semesta, mungkin belum cukup… untuk cintamu.
^)^
source : ffindo.wordpress.com